Do You Like Me? (Ode)

103 11 0
                                    

⋇⋆✦⋆⋇️️ ️️️️ ️️️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️

Suasana kafe yang hangat serta aroma biji kopi yang semerbak mengelilingiku tepat ketika aku melangkahkan kaki ke dalam.

Sudut mataku mencari tempat duduk yang nyaman, dan agak sedikit jauh dari keramaian. Karena ini hari Sabtu, ada lebih banyak orang dari biasanya di kafe.

Aku melihat jam di dinding, 20 menit sudah lewat sejak aku mendudukkan diri di kursi ini. Kuraih ponsel dari dalam tas, hendak menanyakan kabar partner kencanku hari ini.

'Ding.'

Sebuah notifikasi pesan masuk. Kata maaf ada di awal kalimatnya. Sepertinya, partner kencanku hari ini memutuskan untuk tidak datang karena satu dan lain hal.

Aku sungguh tidak masalah, hanya saja bukankah akan lebih baik kalau bisa mengabari sebelum aku sampai disini?

Aku memutuskan untuk memesan segelas latte sebelum kembali pulang. Duduk sendirian di kafe, sembari memandangi orang lain bercengkrama ternyata tidak seburuk itu.

Setelah tegukan terakhir, aku beranjak dari dudukku dan berjalan keluar.

Langkah kakiku kubawa menuju halte terdekat, sementara tanganku berupaya menyematkan earphone ke dalam telinga. Aku berjalan tanpa melihat ke depan, saat tengah mencari playlist favorit.

"Aw.."

Aku mendesis kesakitan ketika tubuhku membentur kerasnya trotoar. Seseorang di hadapanku juga melakukan hal yang sama.

Sepertinya ini salahku karena menabraknya yang sedang berlari, bila dilihat dari pakaian olahraganya.

"Maafkan aku," kataku kepadanya. Ia bangkit tanpa menoleh, dan melanjutkan kegiatan berlarinya seolah tidak ada apa-apa. Merasa menjadi tontonan banyak orang, aku memutuskan untuk berdiri. Di saat itulah, sebuah dompet hitam tergeletak di depanku.

Aku mengambilnya, dan melihat tanda pengenal dari dalamnya. Kurasa ini miliknya, seseorang yang kutabrak tadi. Sontak kepalaku menoleh ke belakang, mencari sosoknya yang membaur di keramaian.

Aku berjalan kearahnya, perlahan kecepatanku bertambah ketika ia mulai jauh dari pandanganku.

"Argh, sial." Kini bukan hanya tubuhku yang sakit, tapi juga kedua kakiku yang dipaksa berlari dengan sepatu wedges. Berulang kali aku memanggilnya, namun sepertinya suara dari headphone yang ia kenakan lebih keras.

Nafasku mulai terengah-engah, aku berhenti sejenak untuk mengatur pernafasan. Tepat disaat itulah ia menoleh ke belakang, ke arahku. Seketika aku melambaikan tangan ke arahnya, dengan harapan ia dapat berhenti berlari.

Tapi hal itu justru membuatnya berlari semakin jauh. Tak ada pilihan lain selain mengejarnya. Aku terus mengikutinya, hingga ia berhenti dan masuk ke kantor polisi. Sebuah perasaan mengganjal muncul dari dalam benakku.

"Ini dia, kau harus segera menangkapnya." Ia mengucapkan itu di hadapan petugas polisi yang lain, sembari menunjuk ke arahku yang baru saja sampai.

"Apa?" Aku terperangah, memandang heran ke arahnya.

"Kau mengikutiku sejak tadi kan? Bahkan sampai kesini." Ia mengatakan itu sembari berkacak pinggang, aku bisa merasakan amarahnya dari nada bicaranya.

"Aku sedang berlari, lalu tiba-tiba ia menabrakku hingga kami berdua jatuh ke trotoar. Karena merasa baik-baik saja, aku akhirnya memutuskan untuk melanjutkan. Tapi, ia justru mengikutiku sampai kemari. Kalau dipikir-pikir, rasanya ia seperti sengaja menabrakku." Pria itu menjelaskan kisahnya dengan sangat ekspresif. Jika aku adalah petugasnya, aku juga pasti percaya naratif yang dibuatnya.

Blind Date With XH (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang