⋇⋆✦⋆⋇
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️Aku menghela nafas, sepasang pintu kayu besar berdiri di hadapanku menunggu untuk dibuka. Belum sempat meraih gagang pintu dan melangkah masuk, seseorang justru dengan sengaja menyentil pelipisku.
"Anj—," aku telah menyiapkan kata-kata makian. Tapi sosok yang kini mensejajarkan posisinya denganku, membuatku menghela nafas lebih panjang.
"Apa yang kau lihat?" Ia turut melihat ke dalam kedai kopi.
"Tidak ada, kenapa kau disini?" Aku berusaha mengalihkan topik, tidak akan ada habisnya jika ia tahu alasanku kemari.
Ia memperlihatkan case gitar yang bersandar di punggungnya.
"Busking?" Ia mengangguk menanggapi. Pandangan matanya kini ditujukan kepadaku.
"Kau lihat apa?"
"Apa yang di wajahmu itu?"
Aku mengerutkan dahi, kebingungan dengan ucapannya. Dengan sigap kuraih cermin kecil dari dalam tas, mencari jawabannya di wajahku.
"Tidak ada apa-apa," gumamku. Berulang kali cermin kecil memperlihatkan pantulan setiap sudut wajahku.
"Oh, sorry. Wajahmu memang begitu rupanya." Senyum tipis disematkannya.
Benar. Salahku menanggapi setiap ucapannya dengan serius.
"Kau cari mati ya?" Pertanyaan itu kerap kali keluar dari mulutku ketika berhadapan dengannya.
"Tidak juga, apa yang kau lakukan disini?" Ia balik bertanya.
"Eu.." Aku mengulur waktu, mencari-cari alasan yang tepat agar ia bisa segera meninggalkan tempat ini.
"Aku— bertemu teman lama. Jo, kau tidak ada urusan lain? Sebaiknya kau pergi." Aku mendorong pelan bahunya, berusaha menyingkirkan keberadaannya.
"Kau selesai jam berapa?" Ia menghentikan langkahnya.
"Entahlah," jawabku. Ia menjauhkan tanganku dari bahunya. Sepertinya ia menerima sinyal yang kuberikan.
"Ah, oke-oke, aku pergi." Tanpa banyak basa-basi akhirnya ia pergi menjauh. Aku bernafas lega. Karena sudah terlambat, aku segera memasuki kedai kopi itu dan mencari teman kencanku.
Pakaiannya rapih dari atas kepala sampai ke bawah kaki. Aku menyambut jabatan tangannya sembari memperkenalkan diri. Senyum canggung terpatri di ujung bibirku.
"Jadi, apa pekerjaanmu?" Tanya pria di hadapanku. Sepertinya ia tipe yang bicara langsung pada intinya.
"Oh, hanya pekerja kantoran biasa. Kau sendiri?" Pesanan kami akhirnya datang, aku memesan iced caramel latte, sementara ia memesan chamomile tea.
"Aku bekerja di kejaksaan, sebagai pasangan jaksa ketika menyelesaikan beberapa kasus. Ah apa kau tahu kalau tingkat perceraian di kalangan pasangan muda meningkat cukup tinggi dibandingkan waktu lalu?"
Pertanyaan tiba-tiba itu rasanya seperti menghidupkan tombol power di kepalaku.
"Ah, benarkah?" Respon klise terlontar begitu saja dari mulutku.
Ia mengangguk semangat, postur dan gaya bicaranya tampak seperti seorang pemateri di sebuah acara seminar.
"Kebanyakan dari mereka bercerai karena pekerjaan. Keduanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, dan hanya bertemu di rumah untuk saling meluapkan tekanan yang mereka terima," jelasnya lagi.
Aku hanya bisa mengangguk menanggapi. Rasanya, bukan ranahku untuk berpendapat soal kehidupan rumah tangga orang lain.
Ujung sedotan kuputar membentuk lingkaran, mengaduk sisa-sisa minuman yang menggumpal di dasar gelas. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak antusias dengan kencan buta ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date With XH (Completed)
Fanfiction️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Kencan Buta, atau yang gampangnya disebut sebagai Blind Date. Pertemuan pertama yang dipenuhi dengan rasa tak karuan. Pertemuan pertama yang mustahil terlupakan. Pertemuan pertama, yang menjadi awal kisah kasmaran. Atau, Pertemua...