🦚 | Bagian 04

269 45 35
                                    

🦚 Bagian 04 🦚

Memandangi kakek dan nenek secara bergantian dengan cemas, aku baru saja selesai menjelaskan keadaan Pradipta yang sakit karena Maag-nya kambuh.

Untung saja kakek memiliki persediaan obat-obatan yang banyak di sini. Sekedar informasi, kakek pensiunan Internis yang terkenal pada zamannya dulu, bahkan di rumah ini dinding-dinding penuh dengan foto, mendali penghargaan, juga tumpukan keras penelitian dan data riwayat pasien di rak-rak lemari.

Mohon maaf, aku lulusan Kesehatan Masyarakat dengan Peminatan Kesehatan Reproduksi sama sekali tidak paham dengan maag. Aku juga tidak tahu seperti apa rasanya mengalami gangguan pencernaan itu. Yang aku tahu jika seseorang sakit maag harus diberikan obat penghambat enzim yang memproduksi asam lambung seperti Proton Pump Inhibitors (PPIs). Ini pun aku tidak yakin benar.

"Ambilkan kotak obat saya di kamar." Kakek berbicara bahasa Korea kepada nenek.

Nenek kembali dari kamar bersama kotak besar yang isinya adalah berbagai macam obat dan peralatannya. Kakek mengeluarkan kapsul berwarna merah dan kuning dari kemasan. Lalu ia berikan kepada Pradipta dan menyuruh pria itu meminumnya bersama air hangat yang nenek bawa dari dapur.

Aku terdiam, mengamati kakek yang masih cekatan. Jika umur bukan penghalang untuk seseorang tetap bekerja, maka kakek masih mampu membantu di RS. Mengalihkan perhatian. Pradipta menyadarkan tubuhnya di kursi sofa. Ini pertama kalinya aku melihat orang sakit maag secara langsung. Sesakit itu kah?

Selama ini jika kelaparan, aku langsung makan, dan stress melanda aku lebih banyak makan lagi. Intinya jangan menyiksa diri dengan tidak makan. Makanan itu obat yang paling alami dan dasar, asalkan jangan rakus, itu beda kasus lagi, bisa-bisa terkena DM.

🦚🦚🦚

Itaewon terkenal dengan hiburan malam dan suasana internasional yang hidup dan ramai. Itaewon juga merupakan distrik yang paling unik dan terbuka bagi wisatawan mancanegara di Seoul. Distrik ini terletak di Yongsan-gu sebelah utara Sungai Han dan sebelah selatan Myoeng-Dong. Kawasan Itaewon pun adalah jalanan berbentuk gang-gang kecil yang dipenuhi restoran, kafe, bar, tempat belanja, sampai kelab malam.

Aku dan Mina baru saja sampai di Itaewon, setelah menaiki bus berwarna kuning di dekat halte Seodaemun-gu Office. Jangan sampai salah bus, aku sangat takut dengan ini karena berbeda warna berbeda pula tujuannya. Bus biru melewati jalanan besar dan memiliki rute yang panjang. Bus hijau mengantarkan dalam jarak dekat dan menghubungkan stasiun-stasiun utama subway dan terminal bus untuk rute panjang. Bus merah merupakan express bus yang mengantarkan dari Seoul ke daerah pemukiman pinggir kota (suburb). Sedangkan bus kuning melayani rute pendek antar distrik di Seoul, biasanya melewati kawasan belanja, wisata, dan bisnis.

Tentu selain itu, aku memiliki T-Money yang dibuat oleh kakek agar mempermudahkan aku dalam proses transportasi dan beberapa hal lainnya.

Merenggangkan otot-otot tulang dan leher. Tidak terasa 45 menit berlalu di atas bus. Mengedarkan pandangan, orang-orang di sekitar kami berlalu lalang, entah berkelompok atau berpasangan. Suara sahut-sahutan, tawaan, hingga umpet masuk ke telingaku. Cukup membuatku sedikit pusing dan berdebar. Maklumlah, anak rumahan.

Meskipun demikian, senyum lebar terpatri di wajahku. Udara dingin yang menerpa kulit bagaikan penanda bahwa kebebasan telah menjemputku-melangkah tanpa rasa takut diteror atau membuat keluargaku marah. Sebelumnya pun kakek nenek mengizinkanku. Kata mereka aku sudah dewasa untuk membedakan mana yang baik dan buruk.

Itulah yang aku butuhkan. Pengertian dan pemahaman dari kedua orangtua. Aku bukan anak kecil. Aku memiliki cita-cita yang ingin kucapai, menjadi seorang penyanyi. Sadar akan kemungkinan jika dengan pilihan yang kuambil dapat menempatkan aku pada kegagalan. Namun apakah aku menyesalinya? Belum tentu, karena setidaknya aku pernah mencoba untuk memperjuangkan mimpi hingga aku paham seperti apa setiap bentuk dari perasaan ketika langkah menuju mimpi itu semakin dekat.

Jika gagal dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan, aku akan mencari jalan keluar, inovasi, atau mengembangkan diri agar menjadi lebih baik lagi. Gagal bukan berarti aku harus berhenti kan? Anggap saja gagal adalah kelas mata kuliah yang harus kuambil dan tuntaskan supaya aku cepat lulus menjadi sarjana. Semakin sering gagal, maka semakin cepat aku berhasil.

Tidak terasa aku dan Mina-yang tiba-tiba memerankan diri seperti tour guide yang mengantar dan menjelaskan apa saja yang ada di sini. Salah satunya Masjid besar yang sering didatangi teman-teman Muslim. Sepertinya aku bisa mengajak Nabilah, sahabatku ke sini-sampai juga di kafe yang baru kuketahui nama 'Can't Take My Eyes of You'.

Sepanjang perjalanan, aku tidak habis-habisnya berdecak kagum dengan desain interior yang ada di setiap bangunan. Juga memandangi dan menembak wajah banyak Negera di sini-yang duduk di luar dengan kursi bar bersama pesanan mereka.

Ini benar-benar surga bagi orang-orang yang memiliki jiwa bebas dan menyukai keramaian. Bagiku, jujur saja gugup, jantungku berdegup kencang dan sedikit pusing. Apalagi sebentar aku akan bernyanyi di kafe. Tak terbayangkan seberapa banyak wajah-wajah orang yang akan menatapku, entah karena bagus atau jelek-mendadak aku insecure.

"Dipta? Nice to see you again!"

Keningku mengernyit. Apa aku salah dengar? Dipta? Pradipta? Aku memiringkan kepala dan menoleh ke samping. Di sudut ruangan seorang pria western dan pria itu tengah berpelukan.

Seketika aku menggigil karena tebakanku benar, pria itu adalah Pradipta. Seperti biasa, ia menggunakan pakaian bernuansa hitam, rambut yang sedikit panjang itu diikat semua menjadi ekor kuda. Percaya tidak percaya, pesonanya sangat berbeda di sini. Vibes yang ... kan. Aku mulai lagi.

But, wait ... Apakah ia baik-baik saja? Bibirnya masih pucat. Sekelebat bayangan tadi pagi muncul, tadi ia terburu-buru kembali ke rumahnya setelah mengingat bahwa ia ada jadwal kelas pagi. Sesudah mengucapkan banyak terima kasih ia hilang di balik pintu.

Mengedipkan mataku berkali-kali. Aku lalu melirik Mina dengan ekor mata, meminta penjelasannya.

"Dipta oppa? Dia bekerja di sini sebagai pelayan dan gitaris, eonni."

Hoel! Kenapa aku sama sekali tidak tahu? Okay, karena aku tidak bertanya.

"Eonni? Ayok masuk, Eomma dan Appa menunggu di dalam!" Mina menarik tanganku masuk ke dalam.

Benar. Aku ke sini sebagai pengganti sementara vokalis bukan memperhatikan anak pria orang. Hampir saja aku melupakannya karena banyak hal yang membuatku terkejut.

Tarik napas, tahan, hembuskan! Sedikit lagi aku akan tampil seperti kupu-kupu yang bebas mengepakkan sayapnya setelah menjadi kepompong bertahun-tahun!

To be Continued

Catatan kaki:
1. Eomma: Mama
2. Appa: Bapak
3. Eonnie: sebutan adik perempuan ke kakak perempuan.
4. Oppa: sebutan adik perempuan ke kakak laki-laki.
5. Hoel: eskpresi kaget.
6. T-Money: T-Money adalah "Transit Card" yang bisa digunakan untuk membayar biaya perjalanan seperti bus, subway, hingga taksi di area Seoul dan beberapa wilayah lainnya di Korea Selatan.

 T-Money: T-Money adalah "Transit Card" yang bisa digunakan untuk membayar biaya perjalanan seperti bus, subway, hingga taksi di area Seoul dan beberapa wilayah lainnya di Korea Selatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seoul Love Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang