🦚 Bagian 08 🦚
Aku sama sekali tidak menyangka beberapa video yang di-upload ke media sosial oleh pelanggan kafe Can't Take My Eyes Of You akan seviral ini di Instagram dan YouTube.Beberapa jam yang lalu aku mendapatkan pesan singkat berisikan videoku bernyanyi yang dikirimkan oleh Mina dan Nabilah. Demi apa? Katakan aku tidak sedang bermimpi. Jika aku berhalusinasi tolong jangan bangunkan aku karena ini sangatlah membahagiakan.
Aku menggeser layar ponsel terus ke bawah, membaca deretan komen yang memuji dan berkata bahwa aku bisa saja menjadi bintang yang sangat bersinar.
Tidak mau munafik, aku adalah orang yang menyukai pujian dan merasa senang karena itu! Bisa kurasakan letupan-letupan kembang api berupa semangat untuk meraih mimpiku.
Masa bodoh dengan perkataan kedua orangtuaku nanti ketika mengetahui video ini. Kali ini dengan bermodalkan nekat dan kebebasan, aku akan melawan. Hidupku adalah milikku. Aku sudah dewasa dan mempunyai hak untuk menentukan apapun yang kumau. Baiklah. Mengepal erat kedua tanganku. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Mood sedang baik. Maka untuk merayakannya aku memesan seporsi ayam.
Tepat saat itu bell rumah berbunyi. Sepertinya itu pesananku yang datang. Hari ini aku ingin makan BBQ Chicken rasa Golden Olive Chicken. Membayangkan cita rasa dari bahan utama pesananku yaitu minyak zaitun extra-virgin berkualitas tinggi dan bubuk khusus yang memberikan kenikmatan BBQ yang unik. Renyah di luar dan berair di dalam.
Meneguk saliva, aku segera membuka pintu dengan tidak sabaran. Dahiku mengerut ketika yang berdiri di depan rumah bukannya Mas Delivery melainkan pria yang akhir-akhir ini membuatku dilema.
"Orangnya salah rumah. Ini." Pradipta mengangkat tangannya yang berisikan pesanan makananku.
"Ah. Terima kasih, Mas." Aku mengambil kantong itu dari tangannya. Bisa-bisanya orang itu salah rumah, atau aku yang salah? Hmm ... sepertinya aku yang keliru.
"Sakura?" panggil Pradipta pelan.
Aku mengangkat kepala dan kami saling bertatapan. Matanya tetap menjadi s tempat kesukaanku. "Iya, Mas?"
Pradipta menggeleng. "Nggak jadi. Kamu masuk aja, dingin di luar." Sesudah berkata demikian, ia masuk ke kamarnya dan meninggalkan aku yang kebingungan.
Selama beberapa hari ini aku lebih sering berjumpa dengannya. Entah di rumah, atau di kafe, kami pun pulang bersama. Tidak banyak hal yang kami bicarakan. Pradipta tipikal pendengar yang baik dibandingkan orang yang suka curhat atau bicara banyak.
Pradipta juga diam-diam sangat peduli denganku-aku cukup malu mengatakan ini namun tindakannya itu kadang menunjuk bahwa ia memperlakukan aku sedikit berbeda dibandingkan ke anak-anak lainnya-atau aku terlalu percaya diri?
Kehadiran Pradipta perlahan menggeser posisi Doni. Jujur aku takut. Apakah yang aku perbuat ini benar atau tidak untuknya di sana. Pria yang usianya lebih tua lima tahun dibandingkan aku. Setelah bertemu di toko buku, ia meninta nomorku. Tiga bulan kami bertukar pesan hingga tepat hari ulang tahunku ia menyatakan perasaannya. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak Doni. Walaupun ayah dan mama melarang anak-anaknya berpacaran. Ia sangat baik, pengertian, open minded, dan selalu memberikan aura positif. Mungkin umurnya yang dewasa mampu memberikan aku ketenangan di saat-saat aku berada di tengah-tengah tekanan keluarga.
Kami berpacaran ketika aku masih SMA. Yah, begitulah kisah kami. Begitu banyak hal baik yang mungkin saja tidak bisa aku dapatkan dengan pria lain. Cintanya yang tulus, kesabaran dalam menghadapi aku. Itulah yang membuat diri ini takut ... takut mengkhianati cintanya. Orang seperti Doni layak untuk dipertahankan meskipun sudah tiada. Namun akhir-akhir ini, aku sedikit goyah.
"Sakura? Kenapa di luar? Dingin, loh, itu." Hampir saja plastik di tanganku jatuh. Nenek menepuk pundak pelan.
"Iya, Nek. Ini mau masuk." Aku menutup pintu rumah dan berjalan ke arah dapur. setelah itu memberitahukan kepada nenek kalau aku baru saja memesan ayam.
Kutaruh beberapa penggal ayam di atas piring putih. Aromanya bersama bumbu berwarna kuning menyeruak memenuhi cuping hidungku.
"Akhir Tahun Nenek dan Kakek akan pergi ke Daegu. Jimin mau melahirkan dan Dia meminta kami ke sana menemaninya." Beritahu nenek yang berdiri di sampingku sembari mencomot satu paha ayam.
"Nenek! Awas, loh, kolesterol," ujarku mengingkatkan. Ia malah menggeleng kepala seperti anak kecil dan memakan ayam dengan lahap tanpa rasa bersalah.
Aku mendengkus panjang, ingin mengomel lebih lama, namun nenek tetaplah nenekku, biarlah ia makan sesekali, besok tidak akan kuberikan, walaupun ia memohon.
"Jadi berapa lama di rumahnya Jimin Eonnie?" Aku sudah berpindah tempat ke meja makan, sedangkan nenek tengah mengisi air putih dari dispenser.
Dapur di rumah ini menang dekat dengan ruang makan, bahkan tidak dihalangi oleh sekat atau tembok. Dulu seingat aku ada, tapi direnovasi tiga tahun yang lalu.
"Kami hanya satu malam. Kamu bisa sendirian kan?"
"Aku sudah 24 tahun, Nek. Pastilah Aku sangat, sangat bisa sendiri." Aku melirik nenek dengan tatapan kesal yang kubuat-buat.
Tentang Jimin. Ia adalah sepupuku dari mama, lebih tepatnya anak dari adik mama yang menikahi seorang gadis Korea bertahun-tahun yang lalu. Selama ini Jimin yang menjaga nenek dan kakek. Namun, setahun yang lalu ia harus kembali ke Daegu sebab pamanku sakit-sakitan-dan telah berpulang beberapa bulan yang lalu. Selain itu Jimin juga memiliki suami yang harus ia urus, apalagi sekarang ia hamil, makanya kakek nenek memutuskan untuk tidak menyuruhnya kembali dan hidup saja bersama keluarga kecilnya. Maka di sinilah aku berada.
Jadi selama ini kakek nenek tidak benar-benar sendirian di Korea. Apalagi Seoul yang terkenal dengan hiruk pikuk anak muda-yang mencari pekerjaan sukar memberikan ruang kebebasan kepada orang berumur. Jika di pikir-pikir, aku jarang melihat orang tua seumuran kakek nenek di sini, biasanya mereka memutuskan untuk pergi ke pinggiran Seoul atau desa-desa kecil di Korea dan memulai hidup yang tenang. Atau ada juga yang memutuskan masuk panti jompo.
"Kamu makan ayam sendirian? Kakek mau." Kakek tiba-tiba muncul dari ruang tamu bersama segelas kopi hitam.
Aku menggeleng cepat seraya menarik piring berisi ayam itu menjauh darinya. "Andwaeyo. Kakek sudah makan ayam goreng kemarin kan?" [Tidak boleh]
"Gwaenchanayo, Sakura-ya." [Tidak apa-apa.]
Aku memiringkan kepala dan mencari-cari keberadaan nenek. "Nenek!"
"Siksa haseyo." [Selamat makan] Nenek secara diam-diam muncul dari arah berlawanan. Kali ini ia menarik satu sayap dari piring, lalu diikuti Kakek.
"Astagaaa."
To be Continued
Catatan kaki:
1. Ini ayam yang dimakan Sakura, ya. Huhuhu.
2. Daegu adalah metropolitan terbesar ke-4 di Korea Selatan, dan resminya disebut Kota Metropolitan Daegu. Dan, ya. Durasi dari Seoul ke Daegu itu 3 jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seoul Love Story ✓
RomanceSeoul Love Story • Romance • Metropop Sakura memiliki mimpi besar ketika menginjakkan kaki di Seoul. Namun, semua mimpinya tersebut pupus karena terbakar gairah di satu malam bersama Pradipta. Sakura sangat membenci Pradipta, apalagi keduanya terpa...