BAB 13

7.6K 417 2
                                    

5 bulan kemudian....
 
Lelaki berpostur tubuh tegap dengan dada bidang itu sedang menunggu Ferni, adiknya yang juga satu kampus ditempat Alina mengajar. Lelaki itu mencari keberadaan adiknya. Tapi adiknya itu tak kunjung datang.
 
“Permisi, apakah anda tahu Fakultas Psikologi tempatnya dimana ya?” Lelaki itu bertanya pada Alina yang ada di kantin.
 
“Psikologi? Iya. Ada di gedung sebelah kantin ini.” Alina menunjuk tempat yang dituju. “Anda mencari siapa? Kebetulan saya kerja di Fakultas Psikologi.”
 
“Oh. Syukurlah kalau begitu. Saya mencari Ferni angkatan dua ribu berapa ya. Waduh saya kurang tahu.” Ujarnya sambil tersenyum dan menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatel.
 
“Ferni siapa ya? Yang saya tahu Ferni Tamawijaya angkatan 2017.”
 
“Iya. Itu dia. Dia adik saya. Kebetulan saya disuruh menjemput dia. Katanya disuruh masuk aja terus disuruh ke kantin. Ini bener kantin kan?”
 
“Oh.. kebetulan sekali, Saya juga  sedang menunggu dia. Ada tugas yang mau dia dan teman temannya kumpulkan.”
 
“Perkenalkan nama saya Alina. Silahkan duduk.” Alina tersenyum sambil mengulurkan tangannya dan mempersilahkan Yuga untuk duduk.
 
“Terimakasih, ehmm.. saya Yuga.” Yuga tersenyum dan membalas uluran tangan Alina. Ia pun duduk di depan Alina.
 
Deg.
 
“Wanita ini... Kenapa tatapannya lembut, ramah dan mampu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Apa dia mendengar degup jantungku?” Gumam lelaki itu dalam hati.
 
“Yakin saya boleh duduk disini? Tanya Yuga sambil menarik kursi didepannya.
 
“100% sure! Ya kalo nggak mau duduk juga nggak apa apa sih. Nunggu Ferni kan.” Alina tersenyum menggelengkan kepalanya sambil meminum orange juice.
 
 
YUGA POV
 
Aku baru sampai di kampus Ferni. Anak kecil itu memintaku untuk menjemput di kampusnya karena hari ini dia nggak bawa mobil. Mobilnya masuk bengkel karena ban nya bocor. Untung saja hari ini agak santai kerjaan di kantor jadi bisa ijin sama komandan untuk pulang mendahului.
 
Aku pulang ke apartemen sebentar untuk mengganti baju. Nggak mungkin lah aku dateng ke kampus dengan menggunakan pakaian polisi lengkap. Bisa ribut sepertinya.
 
Aku bertanya lokasi kantin kepada salah satu mahasiswa di sana yang sedang berkumpul di dekat taman. Jawaban mereka nggak sesuai yang aku harapkan. Ada ada aja perempuan perempuan jaman sekarang.
 
Nyari kantin? Nggak nyari aku aja mas? Aku siap dipinang.”
 
“Kok nyari yang nggak ada sih. Nyari yang ada aja gimana?”
 
“Kantin masih jauh, tapi hatiku dekat.”
 
“Ke kantin mau nyiapin buat katering pernikahan kita ya mas?”
 
Aku bergidik ngeri ke mahasiswi disana. Aku lebih baik mencari sendiri aja tempat kantin. Ah lebih baik ke bagian TU aja biar lebih jelas. Dan nggak akan mendapatkan jawaban yang bikin ngeri.
 
Setelah aku mengetahui dimana lokasi kantin, aku menghubungi Ferni berkali kali. Sama sekali nggak ada jawaban. Di WA pun hanya centang satu. Sialan anak itu. Mau ngerjain apa gimana sih.
 
Di depan nggak jauh dari aku berdiri, aku melihat seorang perempuan yang sedang membaca buku. Ia juga memain mainkan kakinya. Sepertinya ia juga menggunakan earphone bluetooth.
 
Harus bertanya sama siapa lagi Ya Tuhan.. anak ini menyebalkan sekali. Ya sudahlah, aku datangi saja perempuan itu. Semoga jawabannya nggak seperti perempuan perempuan yang tadi.
 
“Permisi, apakah anda tahu Fakultas Psikologi tempatnya dimana ya?” Aku bertanya sambil melambaikan tangan pada perempuan itu. Aku harap dia dengar. Wanita itu mengangkat kepalanya sembari mengerutkan alisnya.
 
“Psikologi? Iya. Ada di gedung sebelah kantin ini.” Perempuan itu menunjuk tempat yang dituju. “Anda mencari siapa? Kebetulan saya kerja di fakultas psikologi.” Ia melepaskan earphone bluetooth nya dan meletakkan di tempatnya. Kemudian ia memasukkan earphone itu ke dalam tas.
 
“Oh. Syukurlah kalau begitu. Saya mencari Ferni angkatan dua ribu berapa ya. Waduh saya kurang tahu.” Haduh anak itu juga nggak bilang pula angkatan berapa? Mau ngasal apa gimana ya?
 
“Ferni siapa ya? Yang saya tahu Ferni Tamawijaya angkatan 2017.” Ia terlihat seperti mengingat nama yang ia ketahui.
 
“Iya. Itu dia. Dia adik saya. Kebetulan saya disuruh menjemput dia. Katanya disuruh masuk aja terus disuruh ke kantin. Ini bener kantin kan?”
 
“Oh.. kebetulan sekali, Saya juga  sedang menunggu dia. Ada tugas yang mau dia dan teman temannya kumpulkan.”
 
“Perkenalkan nama saya Alina. Silahkan duduk.” Alina. Nama yang bagus  dan ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
 
“Terimakasih, ehmm.. saya Yuga.” Aku pun membalas senyumannya  dan membalas uluran tangan Alina.
 
Deg.
 
“Perempuan ini... Kenapa tatapannya lembut, ramah dan mampu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Apa dia mendengar degup jantungku?” Jantung, sabar ya.
 
“Yakin saya boleh duduk disini? Aku memastikan pertanyaannya. Kita harus selalu waspada kan dengan orang yang baru kita kenal.
 
“100% sure! Ya kalo nggak mau duduk juga nggak apa apa sih. Nunggu Ferni kan.” Wanita itu kembali tersenyum menggelengkan kepalanya sambil meminum orange juice.
 
Aku pun dengan segera menggeser kursi dan langsung duduk tepat didepannya. Takut wanita itu bwrubah pikiran. Semakin dekat, aku jadi semakin biaa mencium aroma white musk dari aroma tubuhnya. Wangi. Dan sepertinya mukanya juga tidak terlalu banyak polesan. Bahkan sangat tipis kalaupun ia memakai make up.
 
Aku tidak tahu perasaan apa ini. Seakan hatiku menghangat hanya dengan berdekatan dengannya seperti ini. Dan ketika bersentuhan dengan tangannya, Ya Tuhan lembut sekali tangannya. Kenapa nggak terfikirkan olehku untuk berkenalan terlebih dahulu.
 
Ia sepertinya suka tersenyum karena sudah lebih dari 15 menit aku bersamanya, ia selalu tersenyum.
 
“Ya saya takut aja, nanti ada paparazi fotoin anda, terus nyebarin berita yang enggak enggak kan malah bahaya.” Ngomong apa sih aku ini.
 
“Emang anda artis?” Kan benar. Ia kembali tersenyum sambil menutup bukunya.
 
Senyumnya, tatapannya, Oh tidak... aku pun sekarang mampu membayangkan hari-hari ku mendapat tatapan menyejukkan seperti ini. Ohh.. betapa indahnya hariku.
 
“Hey masnya.. haloo... kok diem aja? Itu tuh ada yang nawarin minum.” Sapa Alina membuyarkan lamunanku. Ahh... mengganggu saja sih.
 
“Oh.. ehhm... saya..” Aku melirik pesanan Alina. “Samain saja. Orange juice.” Kataku cepat. Aku tidak bisa berfikir. Otakku terganggu dengan pemandangan indah didepanku.
 
“Kok sama? Disini es cendolnya enak lho! No endorse. Yakin pasti nagih.”
 
“Terus kenapa nggak pesen es cendol? Kok malah orange juice?
 
“Lagi nggak pengen aja. Tadi pagi udah pesen itu.” Kini ia memamerkan giginya yang putih dan rapi.
 
Oh Tuhan.. bidadari mana yang Engkau turunkan? Tidak hanya cantik ia juga begitu menggemaskan. Apakah ia mempunyai selendang? Mending aku ambil aja biar dia nggak bisa terbang ke khayangan.
 
“Ehm.. sudah lama jadi dosen..?”
 
“Sejak saya lulus S1. Di kampus ini juga.” Minuman yang aku pesen dateng. Aku langsung mengambil minuman itu dan mengaduknya sebentar.
 
“Alumni dan ngajar disini? Jangan bilang mau ambil S2 disini juga.”
 
“Sayangnya.. iya. Aku juga sudah S2 dan di kampus ini juga.” Aku spontan menepuk tanganku. Ternyata tidak hanya cantik, Alina sangat manis, menggemaskan dan pintar. Aku jadi penasaran sama Alina. Dia sudah berhasil menarik perhatianku.
 
Entah kenapa aku tersenyum sendiri. Tersenyum pada diriku yang ternyata aku bisa tertarik kepada perempuan. Bisa berbicara lama dengan perempuan selain mama dan Ferni. Dan menertawakan diriku yang awalnya tidak akan percaya ada seorang perempuan yang berhasil membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku.
 
“Nggak juga lah. Ada yang lebih hebat lagi dari saya. Saya hanya senang menyalurkan ilmu saya ke orang lain. Bukankah menyebarkan ilmu yang bermanfaat itu juga termasuk sedekah? Sedekah ilmu. Semoga ilmu yang saya ajarkan bisa berguna buat mahasiswa mahasiswi saya.”
 
“Aamiin.. mulia sekali ternyata Ibu Dosen ini.”
 
Ia pun tergelak dan tertawa. Tak lama pun aku juga tertawa. Entah mengapa, tawanya mampu membuatku larut. Apakah aku latah atau memang suaranya mampu mengundang orang untuk mengikutinya. Yang jelas suaranya, senyuman dan tawanya sudah jadi candu buatku.
 
“Tumben lho saya bicara bijak kayak gini. Ya kecuali ke mahasiswa saya ya. Anggap aja lah yang tadi itu angin lalu.” Ia pun tersenyum malu. Wajah putihnya berseri dan memerah menahan malu. Semakin gemas dengannya.
 
“Kok nggak nelpon adeknya?”
 
“Sudah saya hubungin dari tadi. Tapi nggak diangkat angkat. Di chat juga masih centang 1.” Dan si cantik ini hanya ber O ria mendengar jawabanku.

Jatuh Hati (TAMAT✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang