Suatu Hari di Jogja

25 6 32
                                    

Aku sedikit terganggu oleh suara yang cukup bising untuk waktu sepagi ini. Dapat ku pastikan, sumbernya ada di barisan ku.

Aku mengerjapkan beberapa kali kelopak mata ku hingga sadar sepenuhnya. Kemudian merentangkan tangan ku ke arah samping tanpa memperdulikan mahluk hidup yang mencoba menganggu kegiatan ku.

"Baru bangun udah rusuh amat nih bocah" cerca Hafidz yang merasa menjadi korban dari aktifitas pagi ku.

"Lo pada rame banget dah, masih pagi juga" ternyata ini yang dirasakan penumpang lain tadi malam. Maafin teman-teman saya ya penumpang.

"Nah lo sendiri ngapain bangun" saat kalimat itu berhasil terucap sempurna oleh Hafidz, ia langsung menerima toyoran dari jemari lentik ku pada pelipisnya.

Alhasil membuat Hafidz dan Gilang yang saat itu sedang merenggangkan otot lehernya, bertarung dengan kening Hafidz

"Sakit goblok" double kill, Gilang juga memberikan pukulan pada kepala Hafidz yang ku rasa cukup keras.

"El kek hewan anjing, jing" Hafidz melemparkan tatapan yang ia buat sesinis mungkin. Masih sangat pagi untuk mengawali bahagia ku.

Aku kembali melihat ponsel, belum ada balasan dari kak Adam. Bahkan status pengiriman pesan pun masih centang satu.

"Diblock lo kan, makanya kelamaan sih" Hafidz meledekku dengan intonasi yang sok manis. Sama seperti yang dilakukan mama kemarin, dengan sengaja pria berkulit putih orang asia ini mengintip room chat dengan atas nama Kak Adam.

"Bacot ah" Aku memutuskan untuk bangkit dari posisi ku saat ini dan hendak membasuh paras ayu ku ini.

Setelah berada didepan pintu toilet kereta, ternyata ada seseorang yang sedang menggunakannya lebih dulu dibanding aku.

Sembari menunggu, aku bersandar di kabin kereta, menikmati suasana pagi yang jauh berbeda dengan suasana ibukota.

Sepanjang berjalannya kereta, banyak aksen-aksen hamparan rumput dengan embun di atasnya. Seolah-olah saling berlarian mengikuti arah lajunya kereta.

'Cklek'
Pintu toilet telah terbuka. Pintu berwarna putih glossy tersebut menampilkan sosok Ardhito yang masih menyisakan buliran air pada helaian anak rambut dan di beberapa area wajahnya.

Tetap sama.
Tatapannya tidak bersahabat, dingin dan tentu saja tidak berekspresi

Ar berlalu begitu saja. Sampai saat ia akan membuka pintu menuju lorong gerbong, aku merasa lirikan matanya mengintai kegiatan ku saat akan memasuki toilet.
Aku menoleh dan membalas sorotan matanya dengan tajam. Mempertanyakan apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

Lagi, dia hanya diam dan lanjut membawa dirinya masuk ke dalama gerbong kereta.

Basuhan air mengalir benar-benar membantu ku menyempurnakan kesadaran ku. Setelah membiarkan rambut ku terurai begitu saja saat tertidur, membuat helaian rambut ku saling menyatu. Ku gulung asal rambut yang sebelumnya sudah ku sisir menggunakan jemari indah yang ku punya.

Aku sempat menilai diriku pada pantulan cermin yang berada didalam toilet kereta.

"Apa yang salah dari gue?" tanya ku pada sosok yang ada di pantulan cermin ini. Pikiran ku terusik oleh sikap Ar tadi. Apa karena ada aliran sungai yang ku buat saat tidur? atau karena rambut singa ku? Ah, tapi tidak terlalu parah. Menurut ku sih seperti itu.

"Ngga ngga, dia aja yang punya kepribadian yang salah" pangkas ku untuk berhenti memikirkan hal yang sebenarnya tidak penting untuk di perdalam.

Kalimat itu mungkin akan terdengar seperti pembelaan. Ya, itu usaha ku untuk tidak terlalu memikirkan sikap lelaki tanpa ekspresi seperti Ardhito.

ARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang