Iri? Bilang Ar.

19 4 15
                                    

Aku terbangun dari tidur yang ku rasa sangat panjang. Ku renggangkan tubuh yang sepertinya sudah tak terasa pegal lagi, mencari kenyamanan lebih dalam dan akhirnya ku kumpulkan niat untuk membuka kelopak mata. Mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan ini.

Jarum jam yang melekat pada dinding ruangan ini sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Ku bongkar isi koper dan meraih handuk warna hijau matcha sekaligus baju ganti. Celana tiga per empat berwarna hitam serta kaos putih polos membentuk V pada bagian leher menjadi pilihan ku. Tak lupa juga peralatan mandi, terutama shampoo dan konditioner.

Sebelum ke kamar mandi, aku sempat berpapasan dengan Ar. Kalian pasti sudah mengenal wajah datarnya. Dan yang lainnya masih asik di ruang tengah. Ku lirik penampilan mereka, sepertinya hanya aku yang terlihat seperti gelandangan.

Setelah menyelesaikan ritual ku, segeralah aku keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk yang masih bertengger di kepala.

Saat aku sedang mengeringkan rambut yang masih basah ini dengan hairdryer, secara tiba-tiba Ar masuk begitu saja ke kamar ku. Memasang charger ponselnya disalah satu stop kontak yang masih kosong.

Aku sedikit bingung. Kenapa harus sampai masuk ke kamar ku. Ada apa dengan stop kontak di kamarnya. Ah, mungkin di kamarnya gak ada stop kontak. 

Hanya hening yang ada di antara kami. Sampai momen dimana Ar melihat ku kesusahan dengan kegiatan mengeringkan rambut.

"Biar gue bantu" Ar mengambil alih alat pengering rambut yang sebelumnya ku genggam secara sepihak dan mulai mengeringkan rambut ku dengan telaten tanpa peduli keadaan ku yang masih memperkirakan perlakuannya ini.

"Jangan sampe kering banget ya Ar, mau gue pakein vitamin dulu" pinta ku padanya dengan memegang sebuah botol vitamin rambut dengan warna silver keemasan. Biar pun aku mencoba bersikap biasa saja dan mencoba mencairkan suasana, sungguh ini sangat canggung.

"Segini lagi gak?" tanyanya sambil mematikan mesin hairdryer ku. Aku memilih untuk mengangguk dan hendak menuangkan vitamin rambut pada telapak tangan ku. Tapi Ar malah merebutnya dan melakukan tindakkan yang seharusnya ku lakukan.

"Pelan-pelan napa Ar" serius, Ar seperti mencabut rumput sampai ke akarnya. Bisa kalian bayangkan sendiri, dendam apa yang ingin ia sampaikan melalui perbuatannya sekarang.

Ku hentikan perbuatan yang entah bisa dibilang baik atau buruk. Dengan ketus ku sampaikan rasa terima kasih ku atas bantuannya sembari merapikan kabel mesin pengering ini.

"Gak becus banget jadi cewe" lagi-lagi Ar yang menggantikan kegiatan ku. Ia yang merapikan kabel yang tadinya sudah ku gulung.
Memang sih, gulungan Ar lebih tertata dibanding aku.

"Sewot banget jadi cowo" ku hentakkan kaki ku dan meninggalkannya di kamar. Mungkin ini yang dinamakan tidak tau diri.

Aku memilih untuk berkumpul dengan 3 siswa yang baru hari ini ku kenal di ruang tengah. Mereka dari prodi yang sama seperti kak Adam, Teknik Komputer Jaringan. Pantas saja sikap mereka seperti agak canggung dengan yang lain. 

Tapi mereka orang-orang yang cukup menyenangkan. Biar ku ingat-ingat terlebih dulu nama mereka.

Tadi sepertinya ada yang bernama Haris, Naufal dan Luki. Dari mereka bertiga hanya, Naufal yang paling normal kelakuannya. Luki dan Haris sama seperti teman-teman yang beberapa waktu lalu ku ceritakan ke kalian.

"Cari makan yok El" ketika sedang asik berbincang dengan manusia baru, Gilang menghampiri ku bersama dengan pasukan dibelakangnya.

"Lo pada mau ikut gak?" tawar ku kepada Haris, Naufal dan Luki. Mereka kompak menjawab tidak, katanya sudah makan tadi. 

ARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang