Ini baru awalan

7 1 0
                                    

Sore itu suasana kafe Ruang Kata teramat ramai, tiap meja dipenuhi dengan gerombolan muda mudi entah itu dengan alasan tengah bertemu kangen atau hanya sekadar pelarian dari rasa kebosanan. Pelayan kafe sedari tadi tiada hentinya mondar-mandir dari satu meja ke meja lain lalu menyerahkan sepucuk kertas berisi pesanan pelanggan pada seseorang di balik meja kounter untuk di serahkan pada penguasa dapur.

"Capek ya Shav? nih minum dulu." Gadis dengan rambut sebahu yang tengah menyandarkan badannya di balik pintu dapur itu lantas menerima uluran segelas air putih dari rekan kerjanya, diteguknya air itu hingga tandas membasahi kerongkongannya yang sedari tadi kering setelah banyak bersuara saat menanyakan pesanan para pelanggan.

"Capek banget mbak," ujar gadis itu seraya mengencangkan ikatan rambutnya. "tapi syukur banget loh mbak Nad, rame kayak gini. Siapa tau nanti pas gajian dapat tambahan bonus gede," lanjutnya lagi diakhiri kekehan ringan, yang juga diikuti oleh Nadia.

"Eh, tapi bukannya jam kerja lo udah habis shav?" tanya Nadia akhirnya. Memang sedari tadi wanita itu bingung melihat Shava yang kebagian jam kerja pertama seharusnya sudah enak rebahan di rumah, justru masih mondar-mandir mencatat pesanan para pengunjung kafe.

"Hehe, eh itu si mbak. Mbak Rere minta tolong aku buat gantiin dia sebentar, katanya dia telat ada urusan gitu," jawab Shava jujur. Tadi sewaktu hendak beres-beres pulang memang ponselnya berdenting dan pesan dari Rere mencuat paling atas di layar ponselnya.

'Shava, gue minta tolong dong lo gantiin gue bentaaar aja. Soalnya gue ada urusan mendadak jadi nanti datangnya rada telat. Pleaseeee'

Karena sudah sifatnya Shava yang memang jadi orang itu susah buat nolak permintaan orang lain dengan alasan paling klise 'nggak enak sama orang itu'. Jadilah ia sampai satu jam lewat dari jam kerjanya masih harus menetap di kafe Ruta.

"Halah, alesan aja itu kali Shav. Paling doi sibuk kencan sama pacar barunya," cibir Nadia. "Tapi kok lo ya mau-mau aja sih Shav, lo jangan terlalu baik deh sama orang. Malah jatohnya nanti lo yang bakalan di manfaatin," lanjut nadia memperingatkan akan sifat Shava yang nggak enakan itu.

"Tapi dia mintanya baik-baik ya masa aku nolak si mbak," bela Shava.

"Kalau sekali dua kali sih nggak masalah ya, Shav. Tapi kalau udah keterusan ya namanya ngelunjak itu orang," ujar Nadia lagi terdengar tegas. "Ya udah gue balik kerja dulu deh, mending lo beres-beres deh. tuh si nyonyah udah dateng," sambil mengendikkan dagunya ke depan, Nadia beranjak meninggalkan Shava yang sedang mencerna ucapannya tadi.

"Eh Shav sori ya gue baru dateng, soalnya tadi urgent banget," Rere mengutarakan penyesalan akan keterlambatannya tapi dari raut wajahnya Shava sama sekali tak menangkap raut akan rasa penyesalan. Ah, memang apa masalahnya dengan hal itu pasti ini cuma perasaannya saja gara-gara ucapan mbak Nadia tadi mungkin, sangkal Shava.

Menunjukkan senyum terbaiknya, Shava menggeleng pelan. "Nggak papa mbak, pasti urusan mbak lebih penting. Jadi nggak masalah kok."

Mendengar jawaban itu Rere lantas tersenyum lebar, "Makasih ya Shav, lo emang rekan kerja terbaik deh." setelah mengucapkan itu Rere pergi meninggalkan Shava.

Shava lantas beranjak menuju ruang ganti, mengganti seragam kerjanya dan mengambil tas lalu pulang ke ... mana? Ke rumah? Ya iyalah, mau kemana lagi dia pulang kalau bukan rumah orang tuanya. Walaupun selalu ada kata seharusnya yang selalu ia sematkan setiap sampai di rumah nanti, tapi Shava kan nggak punya opsi lain. Iya kan? Dia nggak punya kan?

Bunyi dentingan ponsel segera menyadarkan shava, digesernya layar datar tersebut. Sebuah pesan singkat muncul dari pengirim yang hanya satu-satunya Shava sematkan namanya di laman bertukar pesan itu.

Aku di dpn

Singkat, padat dan sangat jelas bagi Shava. Dia sudah paham betul bagaimana cara bertukar kabar orang ini, sangat-sangat singkat tapi Shava selalu paham dengan maksud dari si pengirim.

Oke mas, tunggu bentar ya. Shava mau ambil flashdisk yang dipinjem Bari buat muter lagu kafe tadi

Balasan Shava segera terkirim dan segera pula dibaca sang penerima. Sambil menunggu balasan pesannya, Shava segera mencari Bari untuk meminta flashdisknya dikembalikan.

5 mnt

Setelah membaca balasan dari pesannya tadi, Shava bergegas keluar dari kafe setelah flashdisk berada di genggamannya. Segera ia masuk ke mobil hitam yang terparkir di bawah pohon jauh dari pandangan orang-orang kafe.

"Maaf ya mas, udah nunggu dari tadi ya?" tanya Shava setelah duduk di kursi samping kemudi dan memasang sabuk pengaman.

"Kirain tadi nggak jadi ke kafe," sambung Shava lalu menoleh ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi. Sedari tadi laki-laki itu menatap Shava sangat lekat.

"Keringetan banget," gumam laki-laki itu yang samar-samar terdengar oleh Shava.

"Gimana Mas?"

Bukannya menjawab, laki-laki itu justru mengambil tisu di dashbor lalu mengelap dengan telaten wajah Shava yang bersimbah keringat.

"Kenapa baru pulang?" tanya laki-laki itu sambil masih fokus mengelap wajah Shava.

"Em, sengaja tadi mau di kafe dulu. Lagi males cepet-cepet pulang," jawab Shava tak sepenuhnya berbohong. Sedikit, memang sedikit ada rasa malas untuk cepat-cepat pulang selain mengiyakan permintaan Rere yang menjadi alasannya masih menetap di kafe.

"Oh."

Tanggapan yang singkat di berikan laki-laki itu setelah mendengar jawaban Shava, tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan panjang seperti yang umumnya di berikan seorang kekasih setelah memupuk rasa kangen karena berjauhan selama seminggu.

"Mas Aji sendiri kenapa nggak pulang langsung aja ke rumah tadi. Pasti capek kalau harus jemput Shava gini," ujar Shava memecah keheningan diantara mereka setelah mobil dilajukan keluar dari pelataran kafe.

"Nggak boleh?" Aji justru balik bertanya, tatapannya fokus ke depan tanpa berniat menoleh ke arah Shava.

"Ya bukannya gitu, tapi kan ...," Shava menjeda kalimatnya dan berpikir lebih baik ia sudahi saja pembahasan ini dari pada nanti Aji jadi marah kepadanya. "eh, tapi kalau mas Aji nggak keberatan ya nggak jadi masalah deh, hehe."

Aji hanya berdehem pelan dan mengakhiri percakapan mereka. Sungguh sudah hampir satu tahun mereka menjadi kekasih, tapi percakapan mereka sungguh sangat minim. Jika Shava tak memulai perbincangan tak akan ada suara sama sekali yang akan keluar dari mulut Aji, kecuali ada hal urgent barulah Aji akan bersuara dengan sendirinya tanpa harus dipancing oleh Shava.

Shava yang paham pun ikut terdiam dan hanya melihat keluar lewat jendela sampingnya, tapi jalan ini sepertinya bukan jalan ke arah rumahnya. Kemana Aji akan membawanya?

"Kita mau kemana Mas?" tanya Shava menoleh ke arah Aji yang sedang memutar kemudi berbelok ke warung makan garang asem yang terlihat cukup ramai.

"Mas laper, kamu tadi belum makan juga kan?" tanya Aji sambil membuka sabuk pengamannya setelah menghentikan mobilnya di parkiran depan warung.

Shava yang memang sedari tadi perutnya belum kemasukan nasi lantas mengangguk mengiyakan pertanyaan yang diajukan Aji.

"Ya sudah, ayo turun."

♡♡♡♡

Our ProblemsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang