Berdasarkan pencarian di google dengan kata kunci rumah, arti rumah adalah sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Tapi bagi Shava pengertian dari istilah rumah itu sendiri sudah berbeda sejak tujuh tahun yang lalu, mungkin jika hanya sebagai tempat tinggal Shava akan setuju, tapi jika diartikan sebagai sarana pembinaan keluarga, Shava akan berteriak paling lantang karena itu semua hanya omong kosong belaka.
Dimulai sejak bapak dan ibunya beradu argumen yang kian sering terjadi dari hari ke hari membuat Shava merasa lelah, sangat lelah bila ia harus bertahan di rumah ini. Jika orang bilang rumah adalah tempatmu melepas lelah, shava akan berteriak lantang rumah adalah tempat bebannya kian bertambah berat.
"Mbak Shava." Terdengar sebuah suara yang memanggil namanya diikuti ketukan di pintu membuat Shava beranjak dari baringannya.
"Iya dek, kenapa?" tanya Shava setelah membuka pintu dan menjumpai adik bungsunya di sana, Atta namanya.
"Dipanggil ibu, di suruh makan," jawab Atta pelan.
Shava sedikit mengernyit melihat tingkah adiknya yang tak biasa karena tampak sedikit murung, tapi Shava mencoba menepis prasangkanya, "Mbak tadi udah makan, dek. Kamu udah makan?"
Atta hanya mengangguk pelan, lalu pergi tanpa berbicara lagi pada Shava. Tak mau pikirannya memikirkan yang tidak-tidak, Shava segera menuju kamar di sebelahnya dan mengetuk pintu itu pelan. Setelah pintu itu dibuka tampak seorang gadis yang tentunya lebih muda dari Shava berdiri dengan mata yang sembab menatapnya.
"Mbak boleh masuk, dek?" tanya Shava pelan. Dalam hati rasanya Shava sangat bingung, ada apa dengan adik-adiknya selama ia tidak di rumah tadi?
Ana adik Shava menggeser tubuhnya memberi ruang untuk Shava masuk ke kamarnya. Shava mendudukkan diri diatas karpet dan menepuk sisi kirinya meminta Ana untuk duduk di sana.
"Dek, mau cerita sama mbak?" tanya Shava pelan setelah Ana duduk di sampingnya.
Shava masih sabar menunggu ketika tak di dengar sahutan dari Ana ataupun gerakan gadis itu yang menunjukkan keinginannya untuk bercerita."Nggak papa kalau kamu belum mau cerita sama mbak."
"Tapi mbak mau tanya, kamu tahu Atta kenapa? Soalnya tadi kok ya kayak enggak biasanya dia," Shava mencoba bertanya pelan pada Ana.
Bukannya menjawab pertanyaan dari mbaknya, Ana justru menangis sesenggukan membuat Shava terkejut.
"Loh kenapa malah nangis?"
"Mbak, aku beneran eng-enggak pacaran kok Mbak. Tadi itu cuma temen aku yang nganter karena aku nggak dapat angkutan. Tapi ke-kenapa ibu marah-marah sama aku, Mbak?" masih sesenggukan Ana menceritakan kejadian tadi saat Shava tak di rumah.
Ana saat itu sedang menunggu angkutan yang biasa lewat di depan sekolahnya, tapi karena hari yang sudah sore dan setiap angkutan yang lewat di depannya penuh sesak sang sopir melaju mengabaikan keberadaan Ana yang saat itu juga memerlukan jasanya untuk pulang. Saat dia mulai putus asa dan ingin menghubungi Shava, sebuah motor matic yang dikendarai teman satu organisasinya berhenti tepat di depan Ana. Orang itu pun segera menawarkan bantuan, mau tak mau pun Ana menerima bantuan temannya itu untuk di antarkan pulang. Dengan ujung cerita ibunya menjadi salah paham dan memarahinya.
Shava segera memeluk erat adiknya setelah mendengar itu dan mengelus pelan punggung Ana yang bergetar untuk bisa lebih tenang.
"Tadi ibu mau nampar aku mbak, tapi Atta malah maju dan dia yang jadi kena tampar sama ibu, mbak. Nggak tahunya, bapak juga baru pulang kerja dan ngelihat ibu nampar Atta. Bapak jadi marah dan berantem lagi sama ibu," jelas Ana sedikit lebih tenang.
"Tapi beneran mbak, tadi yang nganterin Ana itu cuma temennya Ana bukan pacar seperti dugaan ibu mbak," ujar Ana sekali lagi seolah memohon agar Shava dapat percaya dengan ucapannya.
"Iya, mbak percaya sama kamu. Sekarang jangan nangis lagi ya," ujar Shava lembut menenangkan adiknya.
"Sekarang mending kamu istirahat aja ya, mumpung besok kan hari libur. Besok mbak mau ajak kalian jalan-jalan mau?" Dengan pelan Ana mengangguk, menyetujui tawaran Shava.
"Sekarang senyum dulu dong, mbak percaya sama Ana." perlahan Shava mencoba memberi ketenangan bagi adiknya. "Nah gitu dong senyum, kan kelihatan cantiknya."
"Makasih ya mbak, udah jadi mbak yang paaling baik buat kami," ujar Ana tulus. Bagi Ana, Shava adalah panutan terbaiknya, siap menjadi tameng yang berada di garda terdepan yang akan melindungi adik-adiknya.
"Makasih kembali karena udah jadi adik-adik mbak yang sayaaang banget sama mbaknya," balas Shava sambil memeluk Ana singkat.
"Ya sudah istirahat sekarang ya, Mbak keluar dulu," pamit Shava.
Setelah menutup pintu kamar Ana, Shava berjalan menuju kamar paling ujung, kamar Atta. Masih ada satu hal lagi yang harus dia lakukan, pelan-pelan Shava mengetuk pintu di depannya. Tapi tak ada sahutan sama sekali dari dalam, Shava akhirnya memutuskan mencoba mendorong knop pintu dan tak dilihatnya Atta di sana. Mungkin saja adiknya itu masih ada di ruang tengah, Shava sebenarnya ingin melihat dan memastikan namun rasa enggan lebih mendominasinya.
Terbesit sebuah ide, segera ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Mengobrak-abrik isi tasnya dan menemukan cokelat bar yang tadi sempat dibelinya di minimarket saat pulang bersama Aji. Lalu diambilnya notes dari rak meja dan menuliskan pesan untuk ia tempelkan di coklat bar itu nantinya.
Dek, tadi mbak Ana sudah cerita sama mbak, tentunya tentang kamu juga. Mbak harap kamu jangan menaruh rasa benci ke ibu ya, sebenarnya ibu sayang kok sama kita semua. Tapi mungkin tadi memang ada yang sedang ibu pikirkan jadi terbawa emosi.
Kamu segera istirahat ya, besok mbak rencana mau ngajak kalian jalan. Tapi Cuma bertiga dulu ya nanti, mbak Shava, mbak Ana sama kamu. Eh iya, sama mas Aji juga. Selamat istirahat ya Atta.
Ditaruhnya cokelat bar dengan notes itu di atas nakas samping tempat tidur Atta. Setelahnya Shava segera ke kamarnya sendiri dan berniat untuk mengistirahatkan punggungnya yang terasa kaku. Baru sebentar matanya terpejam, ponsel di sampingnya bergetar. Sebuah pesan muncul dari Aji.
Blm tidur?
Belum Mas, hehe
Mas aku mau cerit|
Belum selesai Shava mengetikkan balasan berikutnya untuk Aji, dentingan tanda pesan kembali masuk berbunyi yang mengurungkan niat Shava untuk sedikit menceritakan apa yang terjadi tadi padanya.
Ya sdh, sgra tidur. Jngn begadang
Setelahnya laki-laki itu terlihat tak lagi aktif di laman berbalas pesan. Shava hanya bisa menghela napasnya berat. Sungguh saat ini ia ingin sekali menceritakan semuanya pada Aji, ia hanya ingin sekadar didengarkan. Tapi apa boleh buat, Shava bisa mengerti kalau Aji tentunya juga merasa lelah dengan urusannya sendiri.
Jika ditanya apa Shava baik saja? Shava ingin sekali menjawab jika ia sedang tak baik-baik saja. Ia terlalu lelah dengan semuanya, tapi ia merasa kalau dirinya harus tetap bertahan demi adik-adiknya yang sangat ia sayangi. Setidaknya masih ada alasan yang membuat dia bisa bertahan sampai detik ini.
Bagaikan mantra ajaib yang selalu terputar-putar oleh memori otaknya di malam-malam sebelum tidurnya. Entah mendapatkan kalimat ini dari mana, tapi memang selalu terputar dan terpatri di kepala Shava.
"Aku nggak papa kok asalkan orang lain bahagia, aku nggak masalah kalau harus begini."
'Begini' yang dia maksud memiliki banyak arti yang bercabang, salah satunya adalah beban yang kian lama makin berat mendera pundaknya.
♡♡♡♡
Ga kuaddd :")
Update lebih awal nih, wkwk. See ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Problems
RomanceMasih coretan tapi sudah cukup layak untuk dibaca. Semoga suka, tapi jangan lupa kritik dan sarannya. Terima kasih sudah menyempatkan mampir di kesibukan kalian yang kadang bikin mumet kepala. Enjoy reading. Tapi kalau ngga suka cukup abaikan ga u...