01. Little Girl

29 1 0
                                    

Madrid, 2013


"Pa ... tolong berhenti, kenapa Papa begini ..."

"Kau membunuh Istriku! Istriku yang malang ..."

"Tolong ... aku takut ..."

"Kau harus diberi pelajaran!"

"Mama tolong Savarna, Savarna takut."

"SAVARNA!"

"PAPAAA!"
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀
"Hahh! Mimpi itu lagi ..."

Gadis dengan wajah dan rambut yang masih berantakan setelah bangun tidur itu, terdiam sejenak sambil menutupi wajah cantiknya dengan kedua tangan. Sudah 2 minggu ia mengunci diri di kamar. Hampir setiap hari ia memimpikan hal yang sama dan mengerikan, kejadian saat dirinya menyaksikan sendiri bagaimana Ayahnya tiada.

Tok tok tok

"Nona Savarna, apa sudah bangun? Saya membawa sarapan untuk Nona."

Dengan tubuh yang masih lemas, Savarna berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, membukakan pintu yang sengaja dikunci dari dalam. Terlihat Bibi Demora berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah nampan.

Bibi Demora merupakan pelayan kepercayaan mendiang Ibu Savarna. Ia yang telah merawat dan membesarkan Savarna serta Adiknya setelah Ibu mereka tiada.

Semenjak Ayah Savarna juga meninggalkan mereka 2 minggu yang lalu, Savarna mulai mengunci dirinya di kamar. Fasilitas yang diperlukan Savarna sudah lengkap di kamar, dan Bibi Demora selalu membawakan makanan.

Jika merasa suntuk, Savarna tinggal membuka pintu balkon atau jendela. Namun, ia tidak pernah benar-benar berada di balkon sebab balkon merupakan tempat dimana Ayahnya tiada. Gadis malang itu mengalami trauma berat akibat kejadian malam itu.

"Sarapan hari ini salah satu kesukaan Nona. Bocadillo de Queso dan susu vanilla hangat buatan saya," Bibi Demora tersenyum cerah dan masuk ke kamar untuk meletakkan nampan berisi sarapan kesukaan Savarna. Bibi Demora kemudian membuka semua jendela kamar dan merapihkan tempat tidur.

"Nona, apa tidak mau berhenti mengunci diri seperti ini? Sudah 2 minggu. Tuan Muda juga kelihatannya merindukan Nona."

Savarna mendekati Bibi Demora dan duduk di atas kasurnya sambil menatap ke luar jendela, "Bibi, aku sudah memutuskan sesuatu."

Lantas Bibi Demora menoleh dengan cepat ke arah Savarna, dengan tatapan takut namun penuh harap, ia bertanya dengan suara lembut, "Keputusan apa, Nona?"

"Kita bertiga bakal pergi ke Seoul dan tinggal disana."

Bibi Demora yang mendengar itu refleks membulatkan kedua matanya. Apa yang sedang dipikirkan gadis berusia 16 tahun ini?

"Bibi masih ingat rumah yang kita tempati saat di Seoul dulu? Mama bilang rumah itu engga bakal di kasih ke siapapun, karena rumah itu atas namaku, dan aku pemilik sah nya."

Bibi Demora berpindah tempat dan berdiri tepat di depan Savarna sekarang, ia mencoba menyamakan tinggi mereka sambil menatap gadis itu.

"Tapi, Seoul itu sangat jauh. Apa yang membuat Nona akhirnya memutuskan hal ini?"

"Aku mau pergi dari sini. Aku engga bisa tenang kalau terus tinggal disini. Ada banyak kejadian buruk, kejadian malam itu juga selalu ganggu aku dan engga biarin aku hidup tenang. Aku takut, Bibi."

"Saya sangat mengerti dengan perasaan Nona. Tapi apa Nona sudah yakin dengan keputusan ini? Kalau sudah benar-benar yakin saya akan membereskan semuanya dan kita akan langsung berangkat ke Seoul. Saya akan selalu mengikuti Nona dan Tuan Muda kemanapun itu."

Senyuman mulai terlihat dari wajah cantik Savarna. Walaupun sangat samar, Bibi Demora dapat melihatnya dan ikut tersenyum. Senyum Savarna itu mampu menular pada siapapun yang melihatnya.

"Iya, Bibi. Aku sudah berhari-hari mikirin ini dan aku yakin. Kita cari sekolah baru untuk Carlio disana, dan aku bisa berhenti sekolah."

"Kenapa Nona berhenti sekolah? Nona harus lulus sekolah dan menjadi wanita sukses di masa depan."

"Biar aku bisa fokus kerja aja, aku mau bantu Bibi. Kita engga boleh bergantung sama harta warisan Papa."

Dengan berat hati, Bibi Demora akhirnya menyetujui keputusan Savarna. Savarna sangat teguh dengan pendiriannya, jika dia sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa merubah keputusannya.

"Baik, Nona. Saya akan memberi tahu Tuan Muda dan menyiapkan semuanya. Nona habiskan saja sarapannya."

"Bibi siapkan aja semua keperluannya, biar aku yang kasih tahu Carlio."

Savarna kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, itu salah satu kebiasaan nya sejak kecil. Sebelum keluar kamar ia akan mencuci wajah dan merapihkan rambutnya.

"Tuan Muda Carlio ada di ruang keluarga, Nona."

Savarna membalas nya dengan senyuman kemudian berjalan menuju ruang keluarga dengan sarapannya. Setibanya di ruang keluarga, benar saja, adik laki-laki nya itu sedang duduk menonton TV sambil menikmati sarapan.

"Hai Carlio, selamat pagi."

Carlio yang sedang asyik makan dan menonton TV sangat terkejut saat melihat sang kakak duduk di sebelahnya. Mereka berdua tidak bisa jauh dari satu sama lain, namun berusaha menutupinya agar terlihat keren. Mereka pasangan kakak-beradik yang tsundere.

"Wahh, masih hidup ya?"

"Cih. Apa-apaan kamu ini, masih pagi udah nonton sinetron." Savarna yang melihat tontonan adiknya segera mengambil remote TV dan menggantinya dengan channel lain. Saat ini kakak-beradik itu sama-sama asyik menyantap sarapan mereka dan menonton acara memasak kesukaan Savarna.

"Carl, secepatnya kita bakalan pergi dari sini. Kita pergi ke Seoul dan tinggal disana."

"Uhuk! Uhuk! Kakak lagi bercanda?!"

"Engga. Aku serius."

"Serius? Tinggal disana? Mau tinggal di rumah siapa? Di rumah tikus? Sekolah ku juga gimana?"

"Tinggal di rumahku, sekolah ya cari lagi."

"Rumahku?"

"Kita pernah ke Seoul waktu masih ada Mama dulu, dan karena Mama sering punya urusan di Seoul akhirnya Mama beli rumah disana. Rumahnya atas namaku, dan Mama bilang rumah itu engga bakal di kasih ke siapapun. Aku juga udah cari tau dan bener aja rumah nya masih kosong, kepemilikannya juga masih atas namaku."

Carlio tentu sangat terkejut dengan pernyataan sang kakak. Ia buru-buru menghabiskan susu nya dan memberi tatapan penuh kebingungan pada kakaknya. "Kenapa tiba-tiba mau pindah?"

"Udah banyak kejadian buruk disini, Carl. Waktu masih ada Mama aku suka banget di rumah ini. Tapi semenjak Mama engga ada, rumah ini udah kayak neraka versi dunia. Ditambah lagi sama kejadian Papa, aku engga bisa tinggal disini lagi, aku mau pergi jauh-jauh," ucap Savarna kepada adiknya.

Carlio duduk tegak menatap kakaknya, dan sang kakak duduk bersandar sambil menunduk. Carlio dapat merasakan kesedihan dan kecemasan yang dirasakan kakaknya sekarang. Ia pun mulai teringat kenangan-kenangan buruk disaat Ayah mereka memukuli mereka, memaki, bahkan menelantarkan mereka, setelah Ibu mereka meninggalkan dunia ini dengan sangat mengejutkan.

Kini hanya tersisa mereka berdua, untuk saling menjaga, menyayangi, mendukung, serta mengkhawatirkan satu sama lain.

"Okay aku setuju, ayo kita pergi ke Seoul."

Savarna yang sebelumnya menundukkan kepala kini menatap adiknya sambil tersenyum, bukan senyum yang begitu cerah, bukan juga senyum yang menyedihkan. Hanya senyum yang mampu Savarna berikan untuk saat ini.
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀✧ To be continued ✧

SAVARNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang