Alan menghela nafas panjang, tangannya sibuk membuat teh untuk tamu special yang datang ke ruko bengkelnya malam-malam masih dengan seragamnya serta raut wajahnya yang terlihat sangat kelelahan.
Ya! Siapa lagi kalau bukan Sena.
Sena datang membawa makanan, tapi dia sendiri yang tidak makan bahkan menyentuh makanannya saja tidak. Lelaki yang notabenenya lebih tua itu sedikit gusar ketika Sena mengeluhkan sakit kepala disertai perutnya yang mual.
"Minum dulu biar perut lo enakan," Titah Alan seraya menyodorkan gelas berisi teh herbal.
"Sorry gue ngerepotin lo, Bang." Ucap anak itu masih berbaring di sofa, belum bergerak dari posisinya.
"Gue seneng direpotin sama lo, ayo repotin gue lagi!" jawab Alan bersemangat.
Alan memandangi Sena yang tengah meneguk teh secara diam-diam. Anak itu hari ini terlihat lebih pucat, tidak ada rona disana serta keringat yang terus mengalir di pelipisnya menandakan bahwa bocah itu sedang menahan rasa sakitnya.
"Lo demam, pulang sekolah kenapa kesini? Mau nginep?" Dengan cepat, Alan langsung bisa memastikan bahwa Sena tengah terserang demam.
"Oh jadi gue gak boleh mampir? Oksi doksi, balik gue Bang, balik." Rajuknya.
"Gue kagak bilang gitu ye bocah!" Amuk Alan merasa terfitnes.
Sena terkekeh, hanya bersama Alan dirinya sedikit merasa bebas untuk bercerita, mengeluhkan apapun yang ia ingin keluhkan, bahkan hal tak penting pun seringkali ditanggapi dengan baik dan membuat Sena merasa lebih dihargai.
Ia bisa mengeluhkan tubuhnya yang tidak enak hanya pada Alan.
Iya, hanya Alan.
Dibandingkan sosok Shaka, Alan lebih bisa memperlakukan Sena dengan baik. Tapi di hati Sena, tidak ada satupun orang yang bisa menggantikan posisi Shaka.
"Gak usah balik aja gimana?" Alan melirik jam tangannya sekilas, "Udah jam 10, lo lagi sakit, mending tidur sini aja." Usulnya memberi saran.
Sena terlihat berfikir sejenak, "Gue balik aja deh Bang, kangen Bunda," Ucapnya jujur diakhiri cengiran khasnya.
"Gue anter." tangan Alan sudah bergerak menarik kunci mobilnya, namun kalah cepat dengan tangan Sena yang menahannya.
"Gak!" Tegas anak itu sambil menyilangkan tangannya.
"Tangan gue masih dua,"
"Kaki gue pun sama,"
"Mata gue masih dua,"
"Telinga gue juga.."
"Satu hal yang penting,"
"Gue masih ganteng." Ocehnya ngawur.
"Itu artinya gue masih bisa balik sendiri. Dadah!" pamitnya sambil menyambar kunci motornya dan keluar dari bengkel Alan dengan berlari-lari kecil.
"BOCAH EDAN!"
°°°
Sena merapatkan selimutnya, pagi ini udara terasa sangat dingin. Padahal, tubuhnya sudah dililit selimut tebal sampai leher, namun tetap tak menghilangkan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang, berbanding terbalik dengan suhu tubuhnya yang jauh dari kata normal.
Bibir tipis itu bergetar, menahan erangan yang ingin keluar dengan matanya yang sengaja ia pejamkan. Entah apa yang dirasakan bocah itu sekarang, ia hanya bisa mengatakan bahwa seluruh tubuhnya terasa sakit.
"Panasnya 39,8 derajat. Aku bilang sama Mas Dimas buat gak nyuruh Sena sekolah dulu ya, Mbak?"
Samar-samar, Sena mendengar suara Omnya sedang berbicara bersama seseorang yang ia yakini adalah Bundanya. Perlahan, matanya terbuka dan melihat langkah Bunda yang mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Didn't Wake Up
Fiksi Umum[SELESAI] "Maaf, Sena belum bisa sempurna untuk Ayah dan Bunda.." Rank 1 in Jaemin [09-12 Juni 2023] Rank 1 in Sick [11-12 Juni 2023]