"Kok nilainya cuma segitu? Ga kaya lo yang biasanya."
Tak!
"Tumben rapotnya gak ada yang A?"
Tak!
"Hahaha lo mah pinternya dikebut duluan sih, makanya sekarang jadi lemot."
Tak!
Anak panah terakhirku melesat menancap tepat di tengah. Aku menurunkan busur. Kulihat dari jauh, anak panahku menancap tak tentu arah. Yang terakhir itu murni beruntung saja sepertinya.
Pelatih meniup peluit. Semua yang berada di shooting line menyimpan busur dan bergerak untuk mengambil anak panah.
"Keren kena bullseye! Ikut kompetisi nih..." puji Indra di sebelahku.
"Ngadi-ngadi. Hoki mingguan ini mah," balasku.
"Ada-ada aja lo, Ra," tawa Indra.
"Yeh gak ada yang ngelawak juga," kataku.
Aku selesai mengambil anak panah lebih dulu daripada Indra. Aku kembali ke shooting line dan menaruh anak panah. Indra buru-buru kembali lalu menghampiriku.
"Tumben arrow nya gak terarah. Lagi mikirin sesuatu?" tanyanya.
"Iya, mikirin lo."
Indra nampak tertegun begitu aku berbicara seperti itu.
"Canda sahabat. Gak usah ge-er" sambungku.
"Ah kejam lo! Mainnya sama perasaan," tawa Indra.
Pelatih kembali meniup peluit, tanda kami boleh mulai menembak lagi. Aku mengambil busur dan bersiap di posisi shooting line. Aku mengambil satu anak panah dan memasangnya. Kutarik tali busur dengan hati-hati. Mata kiriku tertutup agar mata kananku lebih konsentrasi.
Jariku sudah siap melepaskan anak panah. Satu.. dua...
"Tapi serius deh lo mikirin apa?"
Sret... jleb! Anak panah menancap di daerah hitam, tidak menyentuh target sama sekali.
"Ah Indra! Bidikan gue jadi gak kena kan," omelku kesal. Lebih kesalnya lagi si Indra malah cekikikan. Ingin rasanya kulepas sepatu lalu menamparnya dengan keras.
"Ya makanya dijawab dulu dong bestie.." tawa Indra.
Aku berdecak. Indra tak kugubris sama sekali. Aku kembali mengambil anak panah lain. Sekarang gerakanku agak terburu-buru karena kesal tadi. Indra kelihatan samar-samar sedang menarik tali busurnya juga. Harusnya dia tak menggangguku kali ini.
"Apa gara-gara omongan si Damian?"
Sret... jleb! Lagi-lagi bidikanku jadi meleset.
"INDRA!" marahku.
Teriakanku membuat seisi ruangan melihat ke arahku. Peluit dibunyikan tanda semuanya harus menghentikan tembakan.
"Indra jangan ganggu Ara,"
"Nggak kok, coach! Ara nya aja nih baperan," elak Indra.
"Lo nya ganggu!" balasku.
"Kalian ini sudah SMA tapi kelakuan masih seperti anak SD. Ara, Indra, keluar dan jernihkan pikiran kalian!"
"Baik, coach.." jawabku lesu.
"Asik istirahat..." gumam Indra berbisik.
"Gara-gara lo gue jadi ikut diusir!" marahku.
"Eh yang korban itu gue lah. Kan yang teriak pertama juga lo," bantah Indra.
"Terserah lah. Males."
Aku pergi ke luar dari ruang memanah sendiri. Malas meladeni Indra. Aku duduk di teras luar, memandangi lapangan rumput yang luas di depanku. Kupejamkan mata mencoba menenangkan pikiranku.
Apa yang dikatakan Indra itu benar. Akademikku semakin hari semakin turun. Mungkin aku terlihat tidak peduli dengan nilai namun sebenarnya aku sangat memikirkannya. Tapi apapun itu, aku tidak boleh membawa stress ini ke ruangan memanah itu. Ini dua hal yang berbeda jadi jangan sampai yang satu terganggu karena hal satunya lagi.
"Awas ketiduran."
Aku langsung menoleh membalikkan badan dengan gusar, "bisa gak lo tutup dulu itu mulut hari ini aja?"
Indra hanya tersenyum. Anak ini kayaknya mulai gak waras. Dia menghampiri lalu duduk di sampingku. Tangannya mengeluarkan ponsel dari sakunya. Indra menggulirnya beberapa kali lalu menunjukkannya tepat di depan wajahku.
"Ingat ini?" tanyanya.
Mana mungkin aku lupa dengan foto itu. Foto kompetisi memanah yang kuikuti untuk kedua kalinya dan aku berhasil mendapatkan medali emas. Di situ aku berdiri bersama Indra yang memenangkan medali emas juga untuk kategori yang berbeda. Indra membiarkanku memegang ponselnya dan melihat foto itu lebih dekat.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau tidak mau mempublikasikan itu," kata Indra.
Aku memandangnya sekejap, lalu kembali mengalihkan pandanganku pada foto itu. "Kau yang paling tahu kenapa, Ndra."
"Kenapa tuh?" tanya Indra dengan seringai jahilnya.
Aku memutar bola mata. Aku sedang tidak ingin berdebat jadi kuturuti saja kemauannya. "Lo kan tahu. Kemampuan gue ya urusan gue. Gue cuma menghindari ekspektasi orang. Gue males ngeladeninnya juga," jawabku.
"Kalau gitu lo gak usah ladenin," kata Indra. Indra menatapku lalu berkata lagi, "tak perlu dipikirkan, tak perlu diladeni."
"Emang kapan gue kayak gitu?"
"Baru saja. Yang omongan Damian itu? Dia emang mulutnya susah di filter. Tapi kau sampai membawanya ke tempat ini. Itu sudah tidak baik," kata Indra.
"Kalau kau memang tidak mau meladeni ekpektasi itu, buang semua 'overthink'-mu itu sekarang. Kalau kau mau mengimbangi ekspektasi itu, kamu bisa mengejarnya lain hari. Fokus dengan apa yang kau hadapi sekarang, dan dengan apa yang kamu mau. Seperti saat kau membidik target."
Aku terdiam. Aku tidak terbiasa mendengar Indra yang berucap panjang lebar seperti ini. Bahasanya juga berubah. Indra mengambil kembali ponselnya dari tanganku. Dia menghela napas, kemudian berdiri.
"Hah... gue udah jernih sekarang. Gue duluan. Lo juga jangan lama-lama di luar. Angin lagi kenceng tuh. Badan lo kan kecil, ntar kebawa terbang siapa susah?" tawa Indra.
"Heh!"
Indra tertawa lagi. Indra memang tak pernah gagal menghiburku. Mau aku marah segimana besarpun sepertinya aku tidak akan pernah menang. Dan lagi-lagi dia benar, soal itu kupikirkan nanti saja. Aku masih punya urusan lain di sini. Aku tersenyum, lalu berdiri menghampirinya.
"Tunggu, Ndra!"
°●-----------------------------------●°
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Teen FictionKumpulan cerita pendek, mayoritas tentang orang di sekitar kamu. Terbuka untuk kritik dan saran ♡