Cerita 1 | Enggan Berpisah

33 4 4
                                    

Hari sudah larut namun belum melewati tengah malam. Aku meregangkan tubuhku setelah berhasil menyelesaikan empat tugas sekaligus. Padahal sudah hampir satu semester. Aku masih saja merasa terkejut dengan dunia SMA yang atmosfernya jauh berbeda dengan SMP.

Kuambil ponsel yang baterainya sudah terisi penuh. Kubuka aplikasi dengan nuansa warna hijau itu. Kalau aku tidak salah hitung, ini baru kedua kalinya aku membuka aplikasi hari ini.

Satu nama yang kucari. Sudah lama tidak kudengar kabar darinya.

Terakhir dilihat 11:36

Aku menengok jam dinding. Sekarang ini pukul 19:30. Biasanya dia online kok jam segini.

Hei, sibuk?
19:31

Tanda centang dua berwarna abu. Aku menunggunya tidak sabar. Kapan ya kira-kira warnanya akan berubah biru?

Dia sahabat SMP-ku. Rumahnya di ujung barat kota, aku sendiri ada di ujung timur. Kami menjadi teman baik sejak kelas dua. Kelas tiga, kelas kami bersebelahan jadi tidak sulit kalau mau istirahat bersama.

Naik ke SMA, kami berencana masuk ke SMA favorit di pusat kota. Namun takdir berkata lain. Nilai kami sama sekali tidak cukup dan memaksa kami sekolah di lingkup yang dekat dengan rumah.

Dari pertama masuk SMA, kami belum pernah bertemu tatap muka sama sekali. Aku sendiri merasa hampir gila dengan tugas awal.

"Kalau sampai tiga hari kita nggak chat, salah satu dari kita harus mulai pembicaraan. Bebas mau sekadar hai juga tidak masalah."

Itu yang dia katakan saat melakukan panggilan video denganku setelah perpisahan sekolah. Tentu saja aku menyetujuinya.

Baik dia ataupun aku sama-sama takut saat itu. Takut kehilangan kontak dan melupakan semuanya. Seperti dia dengan sahabatnya dulu. Juga sepertiku dengan sahabatku dulu. Seperti orang asing.

Namun sekarang, baik aku ataupun dia, kali ini kami sama-sama lupa dengan janji di akhir perpisahan sekolah. Sudah satu minggu kami tidak menyapa satu sama lain. Entah apa yang menyibukkan dia di sana. Aku juga bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa bisa sampai seperti ini?

Mungkin ini terdengar terlalu dramatis dan hiperbola bagi sebagian orang. Biar kuberitahu, bertemu dengannya merupakan salah satu kejadian paling kusyukuri seumur hidup.

Dia mengajakku untuk membuka pandanganku lebar-lebar. Tentang hal yang aku sukai, juga tentang hal yang aku benci. Dia dan aku berbeda 180 derajat hampir di semuanya. Dia mengajariku untuk belajar sesuatu, bukan menilai sesuatu.

Jika aku tidak bertemu dengannya, mungkin selamanya aku akan hidup sebagai orang yang suka memandang sebelah mata.

Hei, sibuk?
19:31

Warna centangnya masih belum berubah. Sekarang 19:50. Kapan ia akan membacanya?

Kepalaku sudah memikirkan banyak topik yang ingin kubicarakan dengannya. Walaupun saat ia membalasnya, mungkin aku malah berbalik menjadi pendengar. Tapi aku tidak masalah dengan itu. Cerita miliknya selalu menarik untuk didengar. Aku bisa duduk mendengar pesan suara berdurasi 15 menit yang ia kirimkan tanpa tertidur sama sekali.

Kira-kira dia sedang apa sekarang? Mengerjakan tugas? Jawaban yang sangat klasik tapi selalu masuk akal. Atau mungkin dia sedang menyuapi adiknya? Aku ingat beberapa hari lalu dia mengirimkan foto adiknya memakan buah apel jam 8 malam.

"Setengah mati aku menyuapinya. Nafsu makannya sedang susah."

Ia menulis seperti itu sebagai caption. Aku sedikit tergelak membacanya. Membayangkan ia adu mulut dengan adiknya karena tidak mau makan. Dia orang yang lumayan cerewet dengan orang terdekatnya. Jadi hal itu mungkin saja terjadi.

Aku ingin segera melihat balasan pesannya. Ah, mungkin ini hanya karena aku terlalu rindu dengannya. Aku harus mengalihkan pikiranku dengan melakukan sesuatu.

Aku mengambil sebuah novel yang sudah lama tak kubaca. Tentang seseorang yang berusaha menjalani hidup baru sebagai orang dewasa. Konflik novel ini sekilas tidak terlalu berat. Namun makin banyak lembar yang kau buka, makin banyak masalah yang mengiringi. Seperti domino. Kau buka masalah yang ini, masalah lain akan datang padamu.

Tokoh utama di sini tidak memiliki banyak teman. Itulah kenapa bantuan yang ia punya sangat sedikit. Bahkan di sini satu-satunya sahabatnya malah hilang entah kemana.

Aku sering mendengar, seiring waktu kamu dewasa, semakin sedikit teman yang kamu punya. Tapi aku tidak rela kalau sisa teman yang aku punya bukan dia.

Tunggu, kenapa jadi dia? Aku kan membaca novel supaya teralihkan. Sekarang aku jadi harus memeriksa ponselku lagi.

Hei, sibuk?
19:31

Tidak, kenapa?
20:15

Mataku berbinar begitu melihat jawabannya. Segera aku membalasnya lagi sebelum ia kembali offline.

Tidak ada. Mungkin karena sudah satu minggu kita tidak menyapa?
20:15

Ah, ya benar juga. Maaf, aku sedang sibuk di OSIS belakangan ini. Ketua kami baru saja membuat event baru
20:16

Tidak apa. Aku senang. Kukira kau lupa
20:16

Lupa apa?
20:16

Entahlah. Denganku mungkin?
20:16

Tidak mungkin. Jujur aku sudah berkali-kali ingin menghubungimu tapi selalu saja tersela oleh sesuatu
20:17

Aku lega kalau begitu
20:17

Aku harus pergi. Rapatnya berlanjut lagi. Hah.. padahal aku sudah mengantuk..
20:17

Hahaha ya sudah kalau begitu. Semangat!!
20:18

Thanks!!
20:18

Senyumku mengembang walaupun percakapannya berakhir. Aku melihat foto yang terpajang di meja belajarku. Foto itu kami ambil saat acara perpisahan sekolah.

Entah apakah persahabatan ini benar-benar akan berlanjut sampai dewasa atau tidak, yang jelas kehadiranmu mengubahku ke arah positif. Semoga aku juga pernah mengubahmu ke arah positif juga. Dengan begitu, kita impas!

-----------------------

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang