13

24.3K 3.9K 486
                                    

Oh! Jadi begini rasanya makan siang bareng bos-bos dan ditraktir itu? Mungkin ini juga kali ya, maksud Mama yang memaksa Kei untuk keluar dari rumah, untuk menikmati dunia selain yang selama ini dia nyaman berada di dalamnya?

Yang jelas, ini pengalaman baru bagi Kei disopirin bosnya, dan duduk anteng di jok belakang mobil Toyota Land Cruiser yang beraroma mahal itu. Untung dia tidak sedang datang bulan yang berisiko bocor dan mungkin akan mengotori joknya. Saat melirik kakinya, Kei bahkan bisa merasakan mindernya debu yang menempel di sepatunya itu pada pelapis lantai mobil itu yang pasti setiap hari selalu dibersihkan dengan teliti. Hingga selalu bersih, kinclong, dan wangi.

Sebenarnya Kei nervous banget berada di situasi asing bersama orang-orang yang tiba-tiba juga terasa asing ini. Beberapa bulan ini dia mengenal kedua pria itu sebagai atasannya. Dalam ruang kerja terbatas yang tidak memberinya akses pada kehidupan pribadi. Sekarang, hanya dengan duduk di belakang mereka, di dalam kendaraan yang melaju membelah kemacetan jalan raya, serta mendengar mereka mengobrol dengan seru, persepektifnya jadi berbeda. Dan hal itu membuatnya terpancing untuk memikirkan atasannya dari sudut pandang yang juga berbeda. Salah satu yang tidak bisa dia hindari adalah, Kei jadi memikirkan tentang barang-barang mewah yang dimiliki atasannya ini.

Kei tidak heran bila Bos K memilih mobil jenis ini sebagai kendaraan pribadinya. Karena dari pilihan outfit yang sehari-hari di pakai pun sudah meneriakkan kata mahal. Bukannya Kei peduli atau perhatian. Tetapi teman-temannya sesama assistan engineer yang sering membahas tentang apa saja yang menempel di sekujur tubuh Babe Kaka dan Om Rahman-nya Kei ini. Mau tidak mau, dia jadi tahu juga kalau sesuatu yang kelihatan biasa saja di matanya itu ternyata harganya tak masuk akal.

Di mata Kei, apa sih istimewanya kemeja dan celana mereka? Biasa saja. Warna dan modelnya juga biasa saja. Tapi kenapa harus merek itu dan kenapa harus semahal itu? Juga sepatu, ikat pinggang, kacamata dan entah apa lagi. Ketika pembahasan tiba di bagian perkancutan, diiringi tawa ngakak teman-temannya Kei buru-buru kabur. Sumpah, nggak asyik banget kalau konsentrasi kerjanya terganggu gara-gara teringat kehebohan teman-temannya saat menebak merek kancut mereka!

Untuk mengurangi rangkaian pikiran absurd itu Kei mulai berandai-andai. Andai 10% saja anggaran fashion dua bapak-bapak ini diinvestasikan ke bisnis Kei, dia akan bisa membeli beberapa alat produksi yang canggih. Misalnya oven convection berukuran super besar yang sekali masuk mampu memproduksi 50 biji cake tulban sekaligus. Juga mixer ukuran industri kapasitas sekarung tepung, plus memodernisasi dapurnya agar lebih nyaman untuk bekerja.

Dan yang lebih utama lagi, Kei bisa berhenti kerja kantoran dan kembali ke habitat yang sudah menjadi zona nyamannya. Juragan katering, dong! Sesungguhnya keinginan dia itu sederhana saja. Nggak harus muluk-muluk kerja di gedung mentereng, tapi saldo tabungan empot-empotan karena optimasi pendapatan seorang pegawai sepertinya hanya didapat dari lemburan. Kei akan cukup bahagia berburu calon suami potensial di pasar. Kali aja jodohnya adalah pemilik toko bahan makanan yang bisa kolaborasi dengannya untuk membesarkan bisnisnya. Cocok kan?

Halu lo, Kei! Kei tersedak.

"Kei? Are you okay?"

Kei kaget ditanya demikian. "Iya, Pak. Saya baik-baik saja," jawabnya sambil mengangguk kaku pada Bos K yang menoleh kepadanya dengan tatapan heran.

Mereka sedang berhenti karena lampu merah. Entah karena mobilnya yang memang mulus jalannya, atau skill menyetir si babe yang luar biasa, membuatnya tidak sadar sudah sejauh ini mereka pergi.

"Lo ngelamun ya, Kei? Atau lagi sedih karena nggak bisa kelonan sama Kafi?" komentar Rahman ngasal banget.

"What?" Karnaka bertanya terkejut.

Thousand Sheets (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang