Bab 19(a)

21.2K 4.1K 491
                                    

Sebenarnya bukan karena kantor Dad sangat menarik untuk dikunjungi yang membuat Bhisma dengan penuh semangat meloncat dari mobil dan meminta driver pribadinya untuk segera meluncur ke rumah Aunty Rei, melakukan apa pun yang diminta oleh Mama Kevin itu. Melainkan adanya seseorang, orang lain, yang bisa dia temui di sana. Bertemu orang baru dan terlibat dalam lingkungan yang berbeda adalah salah satu hal yang disukai Bhisma.

Bukan masalah kalau orang baru itu adalah Kei. Mantan mentor bimbelnya, yang dikenal ngocol dan memiliki pembawaan santai. Humornya juga nggak norak.

Mom menelepon tepat ketika Bhisma selesai melapor pada resepsionis di lobi dan mengutarakan maksudnya untuk ke kantor ayahnya.

"I am okay, Mom. Iya, lagi mau belajar bareng teman. Apa? Sip, nanti aku sampaikan ke Daddy." Sambil menyeringai lebar, Bhisma menutup ponselnya dan mengantonginya kembali.

Dia tidak sedang berbohong, bukan? Dia memang akan belajar bareng teman. Teman baru bernama Kei, yang kebetulan asisten Dad dan sangat bisa membantunya untuk belajar. Mischief managed.

Kei sedang berada di ruangan sendirian. Duduk bersandar di kursinya, menunggu jam kerja berakhir yang tinggal beberapa menit lagi, sambil membuka-buka obrolan di grup SMA-nya. Mulai dari grup kelas, sampai ke grup koperasi siswa, tempatnya dulu aktif menjadi salah satu pengurusnya. Tempatnya menemukan aspek menyenangkan dari berjualan untuk pertama kali. Dan bertemu dengan teman-teman sehobi.

Kemandirian Kei memang mulai terbentuk saat duduk di bangku SMA. Menjadi anak tunggal yang sekaligus yatim membuatnya segera menyadari kalau satu-satunya yang bisa dia andalkan hanya diri sendiri. Mindset ini memberinya pondasi yang kukuh dalam menjalani pergaulan masa remaja yang penuh gejolak.

Masa remaja Kei lalui secara normal, dalam arti dia tidak pernah memiliki masalah dalam pergaulan. Dia selalu punya teman, meskipun tidak banyak. Keberadaan teman-teman itu juga cukup bisa diandalkan, meskipun hubungan mereka biasa saja. Artinya, ketika ada teman mendekatinya, dia akan dengan senang hati menerimanya. Kalaupun tidak ada, dia juga tidak apa-apa.

Dalam bekerja pun, Kei tidak pilih-pilih pekerjaan selama nyaman baginya. Di rumah dia enjoy dengan bisnisnya. Mulai dari memasarkan, keluar masuk pasar untuk membeli aneka kebutuhan, tawar menawar dengan para tengkulak, turun langsung ke dapur sampai mengantar pesanan dengan mobil tuanya pun dia lakoni dengan senang hati.

Jadi, kalau bosnya memintanya untuk menemani anaknya yang jelas-jelas bukan anak kecil lagi, pasti dia bisa.

Dan tuyul itu muncul begitu saja di hadapannya sambil tertawa lebar.

"Kei! Dad bilang gue boleh resekin lo!"

Kan? Tuyul beneran deh. Kei berdiri menyambut Bhisma. Mengamati remaja yang arwahnya bersemayam dalam tubuh bongsir nan ganteng ini dengan saksama.

"Tunggu," Kei mengacungkan telunjuknya. "Terakhir kita ketemu, lo masih panggil gue pakai embel kakak deh. Kenapa sekarang panggil nama doang?"

"Kenapa sih, kalau cuma panggil nama?" tanya Bhisma dengan keheranan. "Kalau dulu kan, karena di bimbel, gue wajib pakai panggilan khusus ke mentor. Sekarang kan, lo bukan mentor gue lagi."

Kalau cowok itu bertanya dengan muka tengil kurang ajar, mungkin Kei akan mendampratnya habis-habisan. Tapi karena dia bertanya dengan keluguan universal, dilengkapi ekspresi bego yang menggemaskan, jadi Kei bisa memaklumi. Bagaimana lagi? Di anaknya Bos K, bukan?

"Semau lo aja, deh," katanya akhirnya. "Gue mau absen pulang dulu."

Karena menemani si bongsor ini bukan masuk overtime juga, kan? Bagaimana pun Kei juga cukup tahu diri dan nggak akan habis-habisan memanfaatkan aji mumpung.

"Bhisma," panggil Kei ketika dia muncul lagi di pintu ruangan. "Bokap lo emang minta gue temenin lo. Tapi gue heran, orang kayak lo minta ditemenin model gimana, sih? Nggak mungkin kan, gue temenin ngobrol? Jelas nggak bakal nyambung ke mana-mana."

"Kenapa lo harus ngobrol sama gue?" Bhisma balas bertanya.

"Kenapa gue harus temenin lo juga?" Kei geleng-geleng sambil menghampiri mejanya. "Lo baik-baik aja duduk di sono, ya. Jangan sentuh kertas apa pun. Gue digaji buat ngurutin, dan ngerapiin kertas-kertas itu. Pokoknyna kalau lo ngaco, nggak peduli lo anak dewa sekalipun, gue sentil pala lo!" ancam Kei sambil membuka laci-laci meja untuk berbenah.

Bhisma nyengir. Memperhatika asisten ayahnya yang sedang membereskan laptop dan barang-barang pribadinya.

"Lo bawa tas gede banget sih, Kei?"

"Karena barang gue banyak. Gue pergi kerja. Bukan pergi ke pesta yang cukup bawa dompet."

Alih-alih menjauh, Bhisma malah mendekat agar bisa memperhatikan aneka barang-barang Kei dengan lebih baik. "Ini apaan sih? Semacam kain buat ... table clothe? Tutup meja?" tanyanya.

"Tutup meja? Taplak maksud lo?" Kei heran dan memperhatikan barang yang ditunjuk Bhisma. "Ini sajadah, bukan taplak! Kualat lo."

"Sajadah?"

Bhisma seperti keheranan begitu melihat barang itu.

"Iya, Ganteng! Ini sajadah, ini mukenanya." Kei menunjuk ke lipatan satunya, sebelum memasukkan keduanya ke dalam tas ranselnya yang besar. "Tau mukena? Buat salat."

"Oh, I see. Women outfit for prayer," katanya manggut-manggut.

Dan Kei jadi ingat bagaimana bosnya dulu waktu salat. "Lo salat apa enggak?" tanyanya. "Maksud gue, agama lo—"

"Gue salat kalau pelajaran agama di sekolah. Dan Dad juga having arrangement with ustaz for give me some lesson about Iqro."

Jadi tuyul ini juga belajar Iqro? "Ustaz lo ngajar privat gitu?" tanyanya. Mending kepo daripada mereka nggak ngomong apa-apa kan? Sebab ngobrol face to face sama brondong begini kan pengalaman pertama buat Kei juga.

"Yes. Tapi sudah satu semester ini nggak aktif."

"Jadi satu semester ini lo nggak ngaji?" Kei kaget.

Bhisma mengangguk dengan lugu.

"Kenapa?" tanya Kei. Tahu sih, kayak gini juga bukan urusannya. Tapi, lagi-lagi, daripada diem aja kan?

"Timing-nya nggak tepat. Bentrok sama jadwal les gue. Jadwal macem-macem."

Kei mengingatkan diri agar tidak buru-buru menghakimi ini dan itu. "Terus sekarang? Lo sempet main ke sini?" tanyanya. "Lo emang nggak les?"

"Bosen aja. Pengen beda."

Kei memasukkan barang-barangnya yang terakhir ketika satu ide muncul di kepalanya. "Lo beneran masih Iqro?"

Bhisma mengangguk.

"Lo bisa belajar sama gue aja. Kalau cuma ngajarin Iqro, gue juga bisa. Pasin aja kalau lo main ke sini, sekalian. Itu kalau lo mau sih."

"Eh? Serius lo, Kei?"

"Ya, serius lah. Asal lo niat."

"Lo beneran bisa baca Iqro?"

Kei mendelik kesel. "Ya bisa lah! Ngapain gue nawarin kalau gue nggak bisa? Ada-ada aja lo ini."

"Hm ...."

"Belajar Iqro sama gue seru lo. Gue ajarin gratis. Jadi bokap lo nggak perlu panggil ustaz lagi kalau emang lo kesulitan atur jadwal. Dan, bagian serunya, gue kasih lo bonus deh!"

"Bonus? Apaan?"

"Gue kasih lidi Iqro gratis. Dua biji dan lo bisa pilih warna. Gimana?"

***

Thousand Sheets (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang