Bab 15

22.7K 4.1K 442
                                    

Kei bukannya tidak memahami kekhawatiran kedua atasannya. Karena proyek ini sedang tidak baik-baik saja.

Track Construction sedang mengerjakan proyek investasi di bidang pengadaan listrik. Proyek yang bernilai trilyunan rupiah itu direncanakan akan selesai dalam waktu empat tahun dengan menggunakan dana dari para investor yang mempercayakan uang mereka dan yakin akan mendapat keuntungan berlipat dari produksi energi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.

Tetapi masalah mulai bermunculan ketika satu per satu kecurangan mulai ketahuan. Yang intinya bersumber dari perusahaan sendiri, yang ternyata tidak mampu mengelola proyek sebesar ini. Masalah dana dan sumber daya manusia menjadi isu utama.

"Jadi begini, Kei," Rahman mulai menangkap kebingungan dari ekspresi asistennya. "Tahu nggak, DP untuk kredit rumah itu berapa persen dari harganya?"

Kei menggeleng.

"Serius, kamu nggak tahu? Nggak pernah survey? Nggak kepikiran buat beli rumah?" Rahman menatapnya tak percaya.

Lagi-lagi Kei menggeleng. "Saya sudah punya rumah, Pak," jawabnya datar.

"Meskipun udah punya rumah, nggak ada salahnya kamu mikir investasi, Kei. Sayang gajimu, kalau cuma buat jajan. Apalagi kalau cuma jajanin Kafi."

Rahman niat sekali menyebut nama cowok itu di depan Karnaka yang pura-pura tidak mendengar obrolan mereka.

"Tapi Kafi udah bisa bayar utang, Pak. Jadi habis ini dia bisa beli makan sendiri, nggak nebeng bekal saya."

"Kei—"

"Oh ya, Kafi juga udah beliin saya kopi bubuk. Jadi lumayan mengurangi pengeluaran—"

Sebelum Kei menyelesaikan ucapannya, tahu-tahu lengannya ditepuk Karnaka yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sedang bekerja bersama di meja rapat kecil yang ada di sudut ruangan. "Jangan kebawa pancingan Rahman, Kei. Nggak pinter-pinter juga kamu," katanya mengingatkan.

Kei menoleh untuk mengamati bosnya. Tetapi pria itu bahkan tidak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.

Sudut-sudut bibir Rahman naik sedikit melihat mereka berdua. "Oke, ada yang alergi pada nama tertentu. Jadi kita balik ke masalah DP rumah ya, Kei. Kamu tahu, berapa persen?" ada ejekan dalam suara Rahman.

"Halah, bilang aja 30% rata-rata. Muter-muter nggak jelas lo, Man!" potong Karnaka yang akhirnya benar-benar kesal.

Kei kembali menoleh kepada Karnaka. "Yang kepancing siapa ya, Pak?" tanyanya polos.

Rahman ngakak sementara Karnaka akhirnya menoleh dan memelototi asistennya.

"Saya nggak salah apa-apa, cuman nanya, malah dipelototi," gerutu Kei. "Nasib sandwich generationgini amat, ya."

"Sandwich apa, Kei?" Rahman bertanya, dengan ekspresi penasaran yang dibuat-buat.

"Sandwich generation, Pak. Kejepit di tengah—" dengan lugu Kei berusaha menjelaskan.

"Diem, Kei," kali ini Karnaka kembali menepuk lengannya. "Udah dibilangin jangan kepancing sama Rahman, malah ngomongin segala sandwich dan kejepit itu!"

Kei yang semakin tidak mengerti dan tawa Rahman yang semakin keras membuat Karnaka menatap asistennya dengan tajam. "Believe me, sandwich di otak Rahman nggak bakal sama kayak yang kamu pikirin. Jadi setop, jangan tanya-tanya lagi. Oke?"

"Benar-benar daddy panutan," ejek Rahman. Membuat Karnaka kesal adalah hiburan baginya. "Balik lagi ke DP ya, Kei."

Idih, apaan dah ini, batin Kei sambil mendesah bosan.

Thousand Sheets (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang