Diam membeku. Prilly berjalan lemah menjauhi Kevin, sepertinya sama sekali enggan berkomentar apapun tentang yang satu ini. Kevin masih diam lalu mengikuti Prilly dan duduk disofa bersebrangan dengan Prilly.
Mereka masih diam seolah baru saja menerima kabar kematian dari orang yang mereka cintai.
Kevin melirik Prilly yang menekuk kakinya sesekali mengulus perutnya. Terlihat sekali bahwa ia syok. Wajahnya memucat, mengigit bibirnya ragu, dan menatap kosong bagaikan kehilangan jiwanya saja.
"Pril-," belum sempat Kevin memanggil Prilly, wanita disebelahnya berkata, "jangan beritahu, Ali."
"Tapi, Prilly. Ali adalah ayah biologisnya, aku saja tahu. Bagaimana mungkin aku tak memberitahunya,"
Prilly mendesah pelan, tenggorokannya tercekat. Diam, seolah memikirkan sesuatu.
"Kumohon, Kevin. Aku belum siap. Aku dan Ali, tidur dengannya." Prilly menghela nafas lagi. Sungguh kelihatannya ia sungguh tersiksa dengan perkataannya sendiri. "Karena, aku hanya pelacurnya,"
Perkataan yang mengiris siapapun yang mendengarnya. Bahkan Kevin sendiri terkejut mendengarnya. "Prilly," panggilnya menenangkan.
"Aku hanya pelacurnya, Kevin. Tidak lebih dan aku tak pernah meminta lebih," ucapnya menahan semua emosinya. Wajahnya mulai memerah. "Dia tak pernah peduli padaku. Aku hanya barang dimatanya, diperlakukan kasarpun aku tak bisa menolak," ucap Prilly yang kini tak kuasa menahan semua kegelisahan dan keraguannya.
Menagis dalam diam. Menumpahkan perlahan semua kekesalan dan emosinya, selama ini. Prilly menagis, namun tubuhnya tak menunjukan ekspresi menangis. Badannya seolah membeku. Kevin diam, bergerak memeluk tubuh rapuh itu yang kini berbadan dua.
"Prilly," panggilnya perlahan. Prilly tak berbicara, masih menangis dalam pelukan pria itu.
Seharusnya, bukan Kevin yang memeluknya dan menenangkannya. Bukan, Kevin juga yang mendengar kabar baik sekaligus buruk ini. Bukan, Kevin yang pantas berkata, "Tenang, Prilly." bukan Kevin.
Melainkan pria itu,
Pria yang seharusnya berada disisinya ketika ia menangis dan ketakutan. Seharusnya, pria itu yang menenangkannya dan mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Prilly tenang. Namun, disaat Prilly benar-benar membutuhkan Ali. Pria itu menghilang bagaikan ditelan bumi.
Tak pernah memberikan kabar. Apapun, Harapan Prilly seolah sirna.
Ditambah lagi dengan tubuhnya yang kini berbadan dua. Hancur dan sakit. Apakah Ali sudah tak peduli padanya lagi? Menitipkannya kepada Kevin, saudaranya. Seperti barang saja.
Oh, ya. Prilly lupa, dirinya-kan barang yang bisa dibuang kapanpun dan dimanapun, kepada siapapun.
Menagis perlahan di bahu bidang Kevin. Prilly dapat merasakan tangan kokoh itu mengulusnya dan mendekapnya. Melindungi tubuhnya yang rapuh. Namun, bukan Kevin yang diinginkan Prilly memperlakukannya seperti ini sekarang. Melainkan, sang ayah bayi ini!
Prilly membutuhkan Ali. Walaupun Prilly membencinya atas yang ia perbuat selama ini. Namun, Prilly tetap membutuhkannya. Menggigit bibir bawahnya. Menangis pasrah tak tahu harus apa.
"A-Aku bingung, Kevin. Bayi ini membuat semuanya bertambah rumit. Senang atau sedih, aku juga tak tahu. Kevin," ucap Prilly mulai menangis pilu. Kevin hanya diam mendengarkan semua keluhan wanita itu, mengulusnya sesekali agar wanita itu bisa tenang. Namun, apa daya. Kevin sendiri saja bingung mau berkata apa.
Tak ada satu katapun yang pas untuk menggambarkan semua kerumitan ini.
Hanya Ali. Andai saja, pria itu datang dan menenangkan Prilly. Namun, pria itu terlalu egois dan bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, My Lord (COMPLETE)
RomanceDemi kekasihnya yang sedang sakit parah. Prilly Latuconsina rela berkerja di rumah Villa syarief yang terkenal kaya dan baik hati. Demi uang untuk mengobatan sang kekasih. Namun ia tak pernah menduga bahwa sang Syarief adalah pribadi yang sangat ber...