" Jadi apa planning-mu setelah lulus kuliah ?" Dia menatapku
Kami masih berjalan santai disuatu taman sakura dikawasan wisata Kyoto. Beberapa kumpulan orang mengadakan hamaniI di bawah pohon sambil mengobrol minum the.
"entahlah. Aku msih betah tinggal di Kyoto." Aku menghela napas.
"Kyoto kota budaya, kota pelajar, kota paling indah nomor satu di Jepang setelah Kota Nara," jelasku.
"kau tahu? Di Indonesia juga ada kota yang mirip Kyoto." Lanjutku.
Dia menetapku aneh. "Hont ni?" mata kucingnya melebar.
"Namanya Yogya, Yogyakarta. Kapan-kapan mampirlah kesana. Kota budaya, kota pelajar, orangnya ramah-ramah, makanannya enak-enak. Di sini ada kimono, di sana ada batik. Di sini ada banyak peninggalan kuil Budha, di sana ada kuil Budha yang paling besar didunia. Kau pasti tidak percaya, disana kita pasti bisa makan enak dengan uang 100 yen!"
"ka-kau bercanda!" matanya membelalak.
"tapi kalau aku ke Indonesia, mungkin tempat yang lebih dulu kukunjungi adalah rumahmu, Bali, lalu Yogya." Dia tersenyum. Aku sempat syok ketika dia ingin sekali kerumahku.
Kami lebih sering diam. Pembicaraan kami mulai melebar entah ke mana. Mungkin aku mulai menghindarinpertanyaannya, "Apa planningmu setelah lulus?" Jujur aku masih belum punya jawaban.
"Bagaimana denganmu Ayana? Kamu pasti akan meneruskan kulia S-2, bukan? Professor Takeda atau Profesor Shin-chan sudah melirikmu sebagai asistennya. Tinggal pilih, bukan?"
Diam diam, tak ada respon senang sedikitpun. "Sebenarnya aku tidak begitu suka jika harus melanjutkan kuliah. Aku ingin mencari pekerjaan yang layak. Aku ingin menjadi wanita karier yang andal. Kamu masih ingat apa cita-citaku?"
"Menjadi menteri energy."
Dia menepuk bahuku. "Kau masih ingat. Baagus! Suatu saat aku pasti bisa mewujudkan mimpiku."
"Hai! Bukankah sebaiknya kau melanjutkan S-2 agar ilmumu semakin banyak? Terlebih lagi, jarang sekali ada kesempatan langkah seperti itu. Professor Takeda suka pilih-pilih asisten."
Dia mengangguk. "Hai, sepertinya juga begitu. Banyak teman yang menyarankanku begitu. Watashi wa konran shite.8"
Kami masih berjalan santai. Udara pada musim semi terasa sejuk. Mungkin karena daun-daun, bunga, dan pohon bangun dari tidur panjangnya, mengeluarkan napas kehidupannya. Sesekali aku melihat sakura di kanan dan kiri jalan.
Beberapa kali Ayana diam-diam melirikku. Aku sesekai memergokinya, cepat-cepat ia menunduk. Kami sedang seperti bermain lirik-lirikan. Wajahnya terlihat memerah.
"Profesor JM ingin menemuimu," tiba-tiba ia bicara cepat.
"Profesor JM? Kau tidak salah bicara, kan? Profesor yang fenomenal itu"
Mataku membelalak, jantungku merinding mendengar nama itu disebut. Dia menunduk senyum. "Katanya, kemungkinan besok beliau akan datang ke acara pesta wisuda kita jika tidak sibuk. Beliau ingin menemuimu. Mungkin beliau ingin menjadikanmu asistennya. Terlebih lagi beliau dari Indonesia. Pasti kalian sangat akrab."
Aku tak banyak mencerna ucapannya. Pikiranku melayang membanyangkan Profesor JM, Jaka Mulyadi, dosen fenomenal di kampus kami. Aku mengaguminya. Kecerdasan beliau, daya analisis beliau, pemikiran brilian beliau, kalimat-kalimat teduh beliau. Beliaulah salah satu sumber inspirasiku dalam menyelesaikan risetku.
"Ali. Onaka nggak suita!"9 Bagaimana kalau makan semangkuk ramen? Ajaknya
Aku mengangguk. Kami berjalan cepat mencari warung ramen. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merangkul tanganku saat berjalan. Dadaku sempat bergetar. Aku mencoba menepisnya. Tapi, dia tetap memaksa merangkul tanganku.