malam minggu. untuk pertama kalinya aku harus keluar rumah menemui mertua dan istiku. aku jadi bingung sendiri, pakaian apa yang pantas ku pakai. sebagian besar baju di lemari adalah baju koko, baju keagamaan. sisanya, kaus. hanya sedikit kemeja. aku punya satu jeans biru. itupun pemberian ayahku ketika lebaran tahun lalu. masih baru.
pesan singkat darinya masuk. "jangan lupa pake pakaian rapi! aku suka cwok rapi."
aku semakin berdebar untuk menampilkan diri serapih mungkin di hadapan mertua dan istriku. aku pakai jeans biru, sabuk, dan kemeja merah kotak2. sudah cukup rapi, kata ibu. aku tdk terbiasa dandan necis.
dan akhirnya, aku pergi. mengencani istri sendiri di rumah mertua. lucu memang begitu keadaannya. mungkin hanya aku yang melakukannya.
vespa 'istimewa' berhasil mengantar aku sampai di kediaman keluarganya, perumahan real estate daerah candi baru, semarang. perumahan itu dulu adalah bekas perumahan ekspatriat bangsawan eropa pada masa kolonial. tempat nya teduh dan asri, dari sana kita bisa melihat laut jawa dan deretan kota tua semarang.
aku sempat minder ketika di tanya satpam di pindu masuk. "ingin menemui ibu masyita dan prilly latuconsina," ucapku.
satpam masih curiga, mungkin tampangku tampang orng miskin. merekapun menghubungi ibu masyita. baru kemudian aku di izinkan masuk.
"nak ali terlihat necis, loh," sambut mertuaku yg sempat syok dengan perubahanku.
prilly tak tampak di depan rumah. aku di persilahkan masuk. tdk bnyak basa basi. kami langsung bicara tentang tawaran pekerjaanku.
"nak ali bisa mengawasi toko lumpia di tempat mama. bagaimana? kerjaanya mudah, kok. hanya mengawasi pegawainya saja."
aku tersenyum kaku. "sebenarnya saya bisa, ma. tapi, karena saya mau ikut ujian nasional, saya jadi ragu apakah bisa memenuhi amanat tersebut. terus terang, saya takut konsentrasi belajar saya bisa berantakan. maaf, bukannya menolak rezeki atau bagaimana, ma."
mertuaku tersenyum. "ya udah. mama juga nggak maksa, kok. itu keputusan kamu. mama menghargainya. tapi, jarang jarang loh kesempatan ini ada. mumpung mandor di toko kami sedang cuti panjang."
mama melanjutkan ucapannya seperti ingin sekali memaksaku agar bekerja di sana. aku diam. kalau sudah di paksa orngtua begitu, aku tdk dpat membantah.
tiba2 saja si jelita itu muncul dan menyela pmbicaraan kami. "ma, jangan paksa dia kerja disana!" dia membelaku.
ibu masyita diam. dan tiba2 saja suasana ruang tamu seperti memanas, meski AC disana masih menghembus dingin. aku rasakan pertikaian ibu anak itu meletup perlahan.
"bagaimanapun juga dia harus kerja! dia sudah menikah!"
"dia belum mampu kerja, ma! lagian, ngga bakal tentram juga kalo di paksa kerja. hasilnya pasti jelek!"
ibu masyita kehabisan kata2.
tiba2 saja, prilly langsung menggandengku masuk ke mercy yang sudah disiapkan yang sudah disiapkan. aku hanya menurut. pamitan pada mertua juga tak sempat. aku seperti mërasa bersalah berada pada pertikaian yg lebih disebasbkan karna ku.
"kita kemana?"
"something special place."
aku menatapnya serius. dia menyetir mobil lumayan kencang. masih berbekas di wajahnya rasa kesal pada ibunya. meskipun prilly sudah membela aku, aku condong malah membela mamanya.
kembali aku menatap prilly aku menatap matanya. ada dendam yang sepertinya ia pendam. percecokan itu mungkin sudah sering terjadi. dan mungkin saja sudah lama prilly tdk akrab dengan ibunya. dia lebih mencintai ayahnya.
"kamu kenapa begitu sama mama?"
"begitu gimana?" datar nadanya. menghiraukan tatapanku.
"nggak seharusnya kamu membntah."
"udah deh, nggak usah di bahas. aku lgi mls ngomonginnya." dia memotong penjelasanku.
perlahan, aku mulai mengikuti gaya bicaranya, sifat gampang marahnya, sifat sinisnya. begitupula dengan senyumnya yang mengandung banyak arti. mulai senyum ikhlas hingga senyum memaki.
lalu, sifatnya yg cenderung berubah dengan tiba2. semua komponen itu mulai merasuki hidupku dengan perlahan.
kami sampai di sebuah rumah kosong dan tertawa dengan baik. katanya itu rumah keluarganya ketika dulu belum pindah ke rumah real esate.
"banyak kenangan disini," lirihnya membuka pagar rumah.
"makanya rumah ini sampai kapanpun nggak akan pernah di jual. ayahku merintis usahanya di rumah ini. ibuku masih jadi ibu rumah tangga yg baik dirumah ini. dan aku menjadi anak yg dikasihi orng tua ku juga di rumah ini."
aku mendengarkannya. suaranya seperti curhatan hati yg tanpa sengaja keluar begitu saja dari hatinya.
dy membuka pintu rumah. dia ambil handphonenya sebagai penerang seadanya."masuk, gih!" ajaknya.