Darian dengan sepeda motornya melaju sedang ke kos sahabatnya, Risya, yang sudah mengomel karena Darian belum juga datang. Ia ingin sekali membalik keadaan, seandainya ia bisa, nyatanya ia selalu kalah perang argumen dengan gadis licik itu. Licik adalah sebutan paling pas untuk Risya, menurut Darian. Semenyebalkan apapun Risya, Darian tetap di sisinya. Tidak ada alasan yang terlalu berarti, ia hanya tak ingin meninggalkan sahabatnya. Lagi pula memang tak ada alasan untuk meninggalkannya. Darian sudah dekat dengan kos Risya. Sebuah mobil putih bertuliskan ambulance terparkir di depan kosnya. Darian buru-buru bertanya pada salah satu penghuni yang sedang mengerubung.
Apakah hari ini langit runtuh? Apakah hari ini matahari tak terbit? Kenapa begitu berat dan dingin. Hampa. Aku kenapa? Risya kenapa? Darian terus bertanya-tanya. Apakah karena aku terlambat datang? Apakah aku satu-satunya orang yang tidak tahu? Apakah aku satu jilid tentang kekecewaan bagi Risya? Apakah aku bukan sahabatnya? Lantas selama ini aku siapa? Kenapa terjadi begitu cepat? Kenapa sekarang? Lantas jika itu besok atau sepuluh tahun lagi, aku akan mengerti? Tentu tidak. Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?
Di lorong yang sempit, Darian menunduk dalam. Melintasi malam-malam yang telah berlalu, mengingat hari-hari yang kini berlari menjauhi. Satu bulir berhasil terlahirkan, disusul bulir-bulir berikutnya, lagi dan lagi. Orang tua Risya datang, panik dan khawatir. Darian mengenal mereka, tapi kali ini semua orang berusaha memahami situasi. Kakak laki-lakinya berlarian menyusul dengan air mata tumpah ruah. Gerung tangisnya tak terbendung. Hingga diketahui, Risya menyembunyikan segalanya darinya, sama seperti Darian. Hanya kedua orang tuanya lah yang tahu. Tapi yang terpukul bukan hanya orang tuanya, Darian dan kakaknya pun ikut andil.
Apakah ini akhir darimu, Risya?
Detak terakhir yang berhasil ia suarakan memang hari ini. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya. Hari perayaan kelulusan. Hari ini Risya di wisuda sebagai sarjana. Tapi ia memilih pergi. Memilih bertemu dengan Tuhan. Meninggalkan Darian yang hampa dan merasa menjadi manusia paling bodoh yang pernah terlahir untuk Risya.
Malam telah menjelang, Risya telah berpulang. Darian tak ikut memakamkannya karena ia dibawa keluarganya ke kampung halaman. Sedang ibunda Darian tak mengizinannya terbang dengan kesedihan yang terlalu dalam. Sekarang Darian terkatung di kenangan yang tak pernah jadi kenyataan. Akan kebahagiaan yang bisa dirayakan berdua dengan Risya, akan angan-angan yang selalu ia suarakan pada Risya, rasanya hanya jadi masa lalu yang tak pernah jadi masa depan. Meresap dan meratapi kepergian, hingga tak lagi ia sanggup terjaga menikmati kenyataan dengan kesadarannya. Ia terlelap di hangat dekap sang ibunda.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Darian mengemasi barang-barang di kamar kosnya. Ia harus pergi dari kota yang mempertemukan dirinya dengan Risya. Kesedihan masih sangat terasa, bahkan ia masih berharap kemarin hanyalah mimpi, tapi harapan itu mustahil adanya. Menjelang sore, ia mengantarkan ibunya ke stasiun karena masih ada tanggung jawab pekerjaan. Berat hati ibu Darian meninggalkan anak satu-satunya itu yang dirundung kesedihan, tapi Darian dengan tegas mengatakan tak apa-apa. Darian pula yang memaksa ibunya pulang. Ia bukan anak kecil lagi, tak perlu membebani ibunya.
Di perjalanan kembali dari stasiun, ia tersenyum. Teringat banyak hal menyenangkan yang Risya berikan saat ibunya berkunjung, walau tak pernah sekali pun ia memberi kebahagiaan untuk Risya. Darian sangat kecewa pada dirinya sendiri, ia menyesal. Tiba-tiba cahaya lampu tembak sebuah mobil berkelip menimpanya, di susul dengan klakson panjang..
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayakan Kepergian
FantasyDarian mendapati sahabatnya meninggal. Ia sangat menyesal. Jika saja waktu bisa dikembalikan, ia ingin memperbaiki segalanya. Cerita Pendek tentang penyesalan dan persahabatan. Fiksi | Fantasi