#4

1 0 0
                                    


Hari berikutnya, setelah selesai gladi bersih untuk wisuda besok. Darian mengajak Risya menonton film dan makan malam bersama ibunya. Keluarga Risya datang besok pagi. Banyak tawa yang terjadi, kebahagiaan dimana-mana. Berbeda dengan malam di masa lalu, saat ia hanya mengenyahkan Risya karena ingin melepas rindu dengan ibunda. Tak pernah terpikir Risya kesepian, sangat kesepian di hari-hari terakhirnya. Setelah makan malam yang begitu hangat selesai, setelah Darian mengantar ibunya untuk beristirahat, ia pergi bersama Risya. Gadis itu tersenyum bahagia. Darian mengajaknya ke tempat ngopi paling di sukai Risya. Malam yang sengaja diciptakan untuk berbeda, tak sama dengan malam-malam lalu, Darian membiarkan Risya bercerita dan mengungkapkan apapun yang ada di benaknya. Namun, tak pernah ia temukan kesakitan itu. Tentang jantungnya, tentang vonis dokter, tentang hari-hari yang mendadak ia hilang tak berkabar, satu pun tidak ada rasa sakit yang ia curahkan. Diam-diam kesedihan Darian memuncak. Ia ingin memeluknya sebagai pelukan pertama dan terakhirnya. Tapi ia tak sanggup saat melihat senyum berserinya. Risya terlahir bukan untuk dikasihani, apalagi untuk ditangisi.

"Ri, malam ini malam spesial buat lo. Gue pengen ngerayain kelulusan lo hari ini." Darian memutuskan.

"Yan, wisuda kita tinggal hitungan jam. Jangan konyol." Risya menimpali, tak setuju.

"Pokoknya harus malam ini, Ri. Kalo besok mainstream banget." Darian memaksa.

"Terus lo mau ngapain? Maenan kembang api di atap gedung ini sambil tereak-tereak bilang hei we are bachelor now disambung minum soda sama bakar sosis depan kosan lo?" Risya sarkas.

"Ayo!" Darian menarik tangan Risya ke atap gedung. Ia tahu Risya menggilai kembang api, sudah ia sediakan. Sedang hal-hal lainnya hanya masalah waktu dan keberanian untuk mewujudkannya.

Di atap gedung itu, Risya tertawa-tawa tak pernah menyangka akan yang dilakukan dirinya dengan Darian. Keinginan konyolnya yang asal keluar itu terwujud oleh Darian, bahkan ia sendiri terkejut dengan keinginannya. Ia bahagia. Perayaan kecilnya malam itu terasa sangat mewah. Darian memang spesial.

"Yan, tau lo bakal beneran gini, harusnya tadi gue minta yang lain ya." Risya yang duduk bersebelahan dengan Darian sambil menatap bintang, terlihat menerawang.

"Emang lo mau apa lagi, Ri?" tanya Darian kemudian. Tapi Risya menggeleng.

"Mau hidup selamanya sama gue?" tanya Darian lagi, meledek.

"Ngarep! Lo banyak busuknya, Yan." Balas Risya disusul tawa.

"Sial. Padahal lo yang nggak pernah ngelepas gue." Darian menatapnya, "buat jadi kacung lo." Lanjut Darian. Keduanya terbahak.

Darian tidak ingin meninggalkan kesan yang tidak mengenakan bagi Risya. Cukup kebahagiaan-kebahagiaan dan banyak cerita malam ini untuk ia kenang selama perjalanan pulang menuju Tuhan.

***

Di lorong yang menghimpitnya, di bagian paling mengenaskan dalam cerita persahabatannya, Darian sesak sendirian. Sudah tidak ada lagi air mata yang bisa keluar. Tak bisa lagi ditangisi untuk sewajarnya menjadi sebuah kepergian. Sesal dari banyak sesal tak ia temukan. Hanya satu bagian kekecewaan paling dalam yang ia tujukan pada dirinya sendiri. Kecewa karena selama ini tak pernah lebih peka dan lebih membahagiakan Risya. Untuk tiga hari tentang masa lalunya yang kembali, kali itu menguap sudah kekecewaan yang menghinggapi dirinya karena setidaknya ia telah memberikan perayaan paling menyedihkan untuk dirinya sendiri. Merayakan kepergian.

Ia datang untuk kukenang.

Ia pergi untuk kurayakan.

***

Di atas dahan pohon entahlah, satu-satunya pohon yang masih berdiri kokoh di tengah kota, terlihat seekor tupai tua yang sangat langka di temukan. Suatu penghormatan bagi Darian. Ia sedang duduk menghabiskan sore, merelakan Risya, mengenang masa depan yang jadi masa lalu. Di bawah pohon ini beberapa hari lalu, ia kembali ke masa lalu. Ia bertanya-tanya siapa perempuan setengah baya itu dan bagaimana keadaannya saat ini. Tersenyum kala ia menemukan satu tupai lain yang melongok dari rerimbunan daun. Lucu sekali, pikirnya. Mungkin kabarnya benar, mereka sepasang tupai terakhir yang ada di kota ini, yang menghabiskan masa tuanya mengabdi pada satu-satunya pohon dan satu-satunya tempat mereka melompat. Ironis, bukan?

"Apa kau menyukainya?" tiba-tiba satu suara membuyarkannya. Seorang perempuan setengah baya yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya. Mengenakan kerudung violet panjang menjuntai sampai pinggangnya, ia tersenyum manis menyambut keterkejutan Darian.

"Ya, tentu saja."

Di sanalah sesungguhnya awal dari perjalanan Darian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Merayakan KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang