Tiiiin! Tiiiin!
Lampu mobil di arahkan pada dirinya. Klakson pun tersahut panjang. Darian oleng dengan sepeda motornya kemudian terjatuh di bahu kiri jalan. Ia masih beruntung. Mobil tersebut tidak jadi menabraknya, tapi menabrak pohon legendaris di kota itu. Pohon satu-satunya yang masih gagah berdiri di tengah kota dengan dua tupai penghuninya. Legendaris karena tidak pernah ada yang berhasil menebangnya. Pohon itu keramat sekaligus aset. Darian bangkit, kemudian berlari menghampiri mobil yang menabrak pohon, ia berusaha mengeluarkan seorang wanita paruh baya di bangku kemudi. Perempuan itu sendirian.
Tiba-tiba angin bertiup aneh. Suara bising kota dan kerumunan orang di persimpangan tempat kejadian perkara tersebut, hilang. Mereka tak ada. Darian yang tadi melihat sekeliling, mendadak kembali dikejutkan karena wanita tersebut tidak ada di hadapannya. Wanita yang masih terkapar itu ikut menghilang, begitu juga dengan sepeda motornya, yang tersisa hanya dirinya, pohon tua, dan semburat jingga matahari yang mengantuk. Darian yang bingung dan bertanya-tanya memutuskan untuk pulang, kembali ke kamar kosnya.
Setibanya di sana, barang-barang yang sudah ia kemas justru kembali pada tempatnya. Ia membatin, apa yang terjadi dalam hidupku? Tak ada jawaban. Tak ada yang bisa menjawab, kecuali dirinya. Kamar berukurang sembilan meter persegi itu senyap. Rumbai-rumbai yang setia menghiasi jendela kamarnya sedikit terhempas karena angin tak wajar yang bertiup. Darian menoleh menuju kemana rumbainya tertiup. Kalender, ia menemukan kalender yang menggantung di dinding dekat jendela. Darian tak pernah lupa mencoret tanggal-tanggal yang telah berlalu dan coretan itu berhenti di 4 September, tiga hari yang lalu. Darian terkejut dan lebih mengejutkan lagi ketika pintu kamarnya terbuka kemudian suara gadis itu menggema.
"Yan, udah sholat belum? Ayo cari makan, gue laper."
Darian mematung, lantas menangis.
"Woeee, lo kenapa?" gadis itu buru-buru menghampiri Darian yang tersungkur di lantai. Darian tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bingung, takut, tapi juga senang lantaran gadis itu nyata dihadapannya.
Mengulang masa lalu, kah? Darian bertanya pada dirinya lagi.
Pertanyaan yang sama di lontarkan, Risya, gadis itu di tahun, hari, dan jam yang sama sebelumnya. Bukan kah kali ini tak bisa disebut sebelumnya karena berada di hari, tanggal, dan jam yang sama? Darian menyadari kali ini adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan dengan cara yang tak pernah disangkanya. Ia akan menggunakannya dengan baik atau mungkin lebih buruk?
"Gue seneng liat lo, Ri." Darian tersenyum, "gue sholat dulu ya."
Darian menepuk ubun-ubun Risya yang tertutup kerudung. Tangannya bergetar.
"Sakit emang." Risya keheranan.
Malam itu tak pernah ingin ia akhiri seperti tiga malam lalu, ketika ia mengusir Risya dari kamar kosnya karena dirinya telah lelah. Kali ini justru ia mencegah kepergiannya. Beberapa teman mereka kemudian bergabung untuk menghabiskan malam di beranda kos Darian. Tawa-tawa malam ini setidaknya tidak menguap dengan percuma. Risya sangat bahagia, kebahagiaan yang sudah lama tak ia temukan. Darian memang benar-benar sahabatnya. Ia sering merusuh dan mengomel panjang pada Darian karena ia ingin lebih lama dengan Darian. Walau baru kali ini Darian mengerti apa yang diinginkan Risya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayakan Kepergian
FantasyDarian mendapati sahabatnya meninggal. Ia sangat menyesal. Jika saja waktu bisa dikembalikan, ia ingin memperbaiki segalanya. Cerita Pendek tentang penyesalan dan persahabatan. Fiksi | Fantasi