Chapter 33

1.6K 72 3
                                    

Daniel didorong masuk begitu saja ke dalam sebuah unit apartemen yang cukup mewah. Ia berbalik, mengumpat pelan saat dua pengawal itu keluar tanpa pamit. Daniel ingin mengejar, kalau bisa ingin kabur sekalian. Sayangnya, Daniel bukan orang bodoh yang memaksa keluar padahal pintu hanya bisa dibuka dengan sandi.

Daniel mengamati tempat itu lamat-lamat, lalu duduk di sofa yang menghadap langsung ke dinding kaca. Dari sini, Daniel bisa melihat kepadatan kota sore hari ini. Matanya melirik ke arah sebuah pigura kecil. Penasaran membuat Daniel mengambilnya. Tanpa sadar, senyum tipis terukir di sudut bibirnya.

Foto itu, memotret ibunya yang sedang menggendong Dania, dan Daniel yang berdiri di sampingnya memegang erat ujung baju ibunya. Daniel tidak tahu kapan foto ini diambil, yang pasti di sini ia terlihat kecil dan berdiri kurang tegak.

"Itu saat kamu masih berumur dua tahun. Berjalan saja masih dibantu Papa." Daniel meletakkan pigura itu, lalu menoleh ke arah papanya yang datang dan duduk di sampingnya. Pria itu bersandar, berulang kali menghela nafas panjang. Seolah banyak beban yang harus segera ia selesaikan.

"Ini apartemen siapa?" tanya Daniel seraya bangkit berjalan menuju dapur. Tadi pagi ia masih sarapan masakan Nara. Jangan tanya bagaimana rasanya, karena Daniel sungguh tidak rela makanan itu tersisa di piringnya.

Dan saat ini, hari sudah mulai sore, jelas Daniel kembali lapar mengingat energi yang ia habiskan di sekolah. Bukan untuk belajar, tapi untuk menikmati satu persatu omelan guru. Jangan salah, kenyang karena omelan tidak ada dalam kamus Daniel, yang ada hanya lapar karena omelan.

"Apartemen Papa, lah." jawab Tama yang hanya direspon Daniel dengan mengangkat kedua alisnya. Ia berdecak saat tidak menemukan makanan sama sekali, matanya melirik ke tempat sampah, ada banyak kotak bekas makanan di sana.

"Pa, laper." Tama melirik putranya yang lunglai di atas meja bar dapur. Ia menarik ujung bibirnya, lalu mengotak-atik ponsel untuk memesan makanan.

"Sudah Papa pesankan," ucap Tama seraya bangkit, berjalan masuk ke salah satu kamar. Daniel tak menjawab, pun tak melirik ayahnya. Cowok itu masih betah menggolekkan kepalanya di atas meja bar.

Tama keluar dari kamar dalam keadaan segar dengan pakaian rumahan, bertepatan dengan itu makanan datang. Pria itu segera membawanya ke dapur dan meletakkannya tepat di depan Daniel yang tertidur pulas di meja. Daniel menggeliat dan membuka mata saat merasakan tepukan tangan dingin ayahnya di lengannya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan menyipit dan kening berlipat. 

"Papa mandi?" tanya Daniel menatap penuh selidik Tama yang dengan tenang menata makanan di meja.

"Ya, kamu mau makan atau mandi dulu?" tanya Tama melirik sekilas Daniel lalu kembali sibuk dengan aktivitasnya.

"Papa nginep di sini lama?" selidik Daniel yang langsung membuat gerakan tangan Tama terhenti. Pria yang sekilas mirip Daniel itu terdengar menghela nafas, lantas mengangguk. "Kenapa?" tanya Daniel.

"Kamu pikir setelah Papa tampar Bunda, Papa bisa bersikap biasa saja?" tanya balik Tama seraya menatap Daniel yang mengeryit bingung. Tama menghela nafas kembali, sebelum bergerak lagi menata makanan dan menyelesaikannya. "Papa belum pulang sejak kejadian itu, Niel."

Penjelasan Tama cukup berhasil mengagetkan Daniel. Cowok itu mematung, mencoba secara perlahan mencerna kembali apa yang ayahnya ucapkan. Seketika Daniel dilanda kekhawatiran dengan kondisi ibu dan adiknya selama seminggu belakang ini. Ia pikir akan baik-baik saja meninggalkan rumah sebab ada ayahnya di sana.

"Kenapa tadi Dania nggak cerita?"

Tama mengusap wajahnya sekali, lalu menunduk dalam.
"Mungkin dia marah sama Papa." Ia tersenyum kecut di akhir kalimat. Selama seminggu ini, ia cukup banyak merenung memikirkan sikapnya yang menyakiti istri serta kedua anaknya. Terutama Dania, putri kecilnya. Mengingat bagaimana waktu itu Dania menangis, membuat Tama sesak.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang