Pagi hari di kota Jakarta terasa sendu, sinar matahari redup seakan enggan untuk menampakkan diri. Sayup angin yang membekukan dinding jiwa menyentuh kulit dengan halus, seperti sedang menyapa hatinya yang juga mendingin. Daun cokelat yang terjatuh mengingatnya pada kisah dahulu, dahulu yang penuh kasih tanpa pilu, dahulu ynag penuh canda tanpa seka air mata. Dahulu, ketika ia masih ada dan menjadi alasannya tertawa. Nuraga terdiam dalam keheningan. Menatap batu nisan bertuliskan 'Fardhansa Ziera'.
Tiga tahun yang lalu mereka berpisah di kedai es krim. Fardhan-nya meninggalkan ia sendiri. Sebelum akhirnya sehari setelah itu, ia juga pergi untuk meninggalkan Fardhan-nya ke kota Bandung. Namun ternyata, bagi semesta jarak mereka saat itu belum terlalu jauh. Dua tahun lalu, di hari jumat bulan Februari Tuhan menjemputnya. Merenggut ia dari semua orang. Dan menciptakan jarak baru antara mereka berdua, yang tidak mungkin digapai Nuraga.
Butuh waktu hingga dua tahun untuk Nuraga datang ke makam ini. Makam dimana orang yang paling ia cintai di kuburkan. Makam yang menyimpan segala alasannya untuk bahagia dan bertahan hidup.
"Ga," Nuraga mengalihkan pandangannya. Disana, ada Nirin yang tersenyum penuh kerinduan.
"Apa kabar?"
Nuraga balas tersenyum, dan mengedikan bahunya pelan. "Seperti yang kamu lihat. Tetap hidup dan bernafas,"
Nirin mendekati Nuraga dan berhenti tepat disebelahnya. "Semua orang rindu kamu Nuraga." Ucapnya pelan. Nuraga menoleh sebentar dan terkekeh.
"Ya, aku tau." Nirin Tersenyum dan hendak menjawab, namun sebelum ada perkataan apapun yang berhasil keluar, Nuraga kembali membuka mulutnya.
"Tapi aku lebih merindukan dia daripada siapapun. Bahkan mungkin, aku hanya merindukan dia. Dan tak merindukan yang lain."