6. Tsukimi

49 9 2
                                    

Suasana hangat melingkupi malam istimewa. Kedua keluarga itu memutuskan untuk tidak terlalu kaku dalam melaksanakan tradisi tahunan, memilih bercengkrama ria sambil menunggu bulan purnama dapat terlihat. Hidangan juga sudah tertata rapi, hasil jerih payah para wanita rumah tangga tinggal menunggu waktu untuk disantap.

Ya, menunggu waktu.

Begitu juga dengan pasangan teman yang dibiarkan menghabiskan waktu berdua di halaman belakang rumah. Menyesap teh sambil memakan tsukimi dango yang sudah sempat mereka sisihkan tadi.

Terasa nyaman walau waktu dihabiskan dalam diam. Canggung seakan tak ada dalam kamus mereka yang sudah lama saling mengenal.

Waktu memang sudah malam, namun langit di sana masih terlihat terang dalam gelapnya. Saking cerahnya, malam bulan ini turut dihadiri ratusan bintang yang tak ingin ketinggalan. Sedikit lagi, bulan purnama akan menampilkan keindahannya.

"Hei, Tobio~"

Panggilan tiba-tiba cukup membuat dirinya terkejut. Pandangannya dialihkan ke [nama] yang ternyata masih asyik menatap langit.

"Kalau sudah berubah nanti, jangan gigit aku, ya."

Gigit? Kageyama bertanya-tanya dalam batinnya. Tidak sesederhana itu, karena ternyata wajah Kageyama sama bingungnya dengan sang hati.

Belum terlepas dari rasa bingung, tiba-tiba saja sang sahabat tertawa keras sambil memukul lengannya dengan agak kuat. Mungkin dirinya senang melihat Kageyama seperti orang bodoh yang tak mengerti apa-apa, [nama] bahkan sampai harus memegangi perutnya di tengah tawa.

"Kau ini, menggemaskan sekali! Maksudku itu," ucap [nama] ingin menjelaskan walau harus dipotong oleh kekehan. "kalau kau kembali ke wujud werewolf milikmu, jangan gigit aku, ya. Aku enggak mau jadi siluman. Hahaha!"

[nama] kembali tertawa setelah mendengar ucapannya sendiri. Padahal itu tak lucu sama sekali, kalau menurut Kageyama. Dia 'kan bukan manusia serigala.

Melihat Kageyama yang tidak ikut tertawa, gadis itu mengembuskan napas dengan kasar dan memasang wajah cemberutnya. Dirinya merasa sang pemuda di sebelahhya tidak menghargai upayanya memecah keheningan.

Mungkin terlalu asyik dalam kegiatan merajuk, bahkan dirinya sampai melupakan keberadaan sang bulan purnama yang sudah tiba di tempat seharusnya. Memantulkan sinar matahari kembali dengan sangat terang.

Kageyama tersenyum, lalu kembali memperhatikan wajah [nama]. Mengemaskan sekali.

"Bulannya indah sekali, ya."

Ucapan Kageyama menarik atensi [nama] ke arah bulan. Benar, cantik. Walau tidak secerah bintang bernama mentari, bulan mampu menunjukkan keindahannya tersendiri.

Meluap sudah rasa kesalnya. Rasa senangnya yang membuncah mengambil alih, karena sejujurnya selain menyukai musim dingin, gadis ini juga menyukai bulan.

Sudut bibirnya sudah naik, membentuk kurva indah bernama senyuman. Gadis itu mengangguk dengan semangat. "Iya, bulannya indah sekali," [nama] menyahut.

Kageyama hanya tertawa kecil. Pernyataan dan persetujuan [nama] tidak salah, walau maksud dari pemuda satu ini bukan makna sebenarnya.

Telapak tangan lebarnya diarahkan ke pucuk kepala [nama], mengusap kepala sang lawan bicara dengan pelan. Sangat halus sampai [nama] gugup dan salah tingkah sendiri.

"Iya, bulannya indah. Jadi, apa balasanmu?" tanya Kageyama yang membuat [nama] sadar makna tersirat dari pernyataan pemuda berambut hitam itu sebelumnya.

Telinganya memerah, saking merahnya sampai ikut menjalar ke wajah yang selalu dielukan manis oleh Kageyama. Dengan malu-malu, gadis itu tersenyum dengan kedua tangan menggenggam jari-jemari Kageyama.

"Iya, bulannya indah sekali."

Tsukimi | Kageyama TobioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang