Prolog

18 0 0
                                    

Seoul city, Januari 1992

"Grrrrmmhhh..."

Sebuah bayangan hitam melesat di belakang restoran Italia yang terletak di pusat kota Seoul. Sesuatu yang sangat besar itu tampak menggendong sesuatu yang lebih kecil di pundaknya.

Tak ada yang memperhatikan sesuatu yang lebih menyerupai sosok itu karena orang di sana lebih terpesona melihat-lihat etalase toko-toko yang penuh dengan barang-barang yang menarik hati.

Sosok itu kemudian masuk ke halaman sebuah restoran remang-remang di sudut jalan. Wanita yang tampak sibuk di pintu masuk restoran itu melambaikan tangannya, melintang di hadapan sosok itu dan...

Sosok itu lalu lenyap seperti sihir.

****

-BRUGH-

Sosok besar yang memanggul sosok yang lebih kecil itu tiba di tujuannya. Sebuah hutan gelap yang rapat oleh pepohonan besar. Cahaya merah dari rembulan hanya menyinari beberapa bagian kecil yang bisa ditembusnya.

Sosok besar itu menjatuhkan bawaannya ke tanah, di bawah sebuah pohon. Sosok kecil itu menggeliat.

"Bertahanlah," ujar sosok besar itu, kemudian ia beranjak pergi secepat kilat meninggalkan sosok kecil yang menggeliat lemah di tanah.

"Kkkkhhhh... sa--sakit!"

Suara rintihan kecil yang keluar dari mulut sosok kecil di tengah gelapnya malam itu menyita perhatian dari pemilik sepasang mata biru safir yang tengah menikmati makan malamnya di bawah rerimbunan semak. Perlahan si pemilik mata itu menghentikan kegiatannya dan mulai menyibak semak di depannya, meninggalkan bururannya begitu saja.

Ekornya dikibaskan pelan bersamaan dengan geraman halus di kerongkongannya. Perlahan ia mendongak begitu saja.

Pemilik mata biru safir itu keluar, mencari-cari si pemilik suara.

Dan dari sana, di bawah bayangan pohon Ek yang besar sesosok kecil manusia tengah menahan sakit yang mendera tubuhnya.

"Grrrrhhh..."

Lagi, pemilik mata biru safir itu mendekat. Sosoknya mulai nampak jelas di bawah sinar rembulan yang sangat redup. Seluruh tubuhnya ditutupi bulu halus seputih saljumeski di bagian moncongnya ternoda oleh darah.

Ia mendekat perlahan dan ternyata langkah kakinya mampu mengusik sosok di bawah bayangan itu.

Sosok manusia kecil itu tiba-tiba tersadar penuh dari pingsannya dan ia terkejut melihat serigala putih kecil dengan mulut berlumur darah berjalan mendekatinya.

"JAUH! JAUH KAU SERIGALA! AKKHH–" teriaknya tiba-tiba sembari melompat ke belakang.

Mata biru safir itu mengedip sedikit, lalu bersama putasaran angin yang tiba-tiba berhembus menyibakkan awan penutup bulan, serigala itu berubah wujud.

Sosoknya yang putih salju itu memudar,berganti dengan sosok mungil dengan rambut putih panjang. Bola matanya bulat besar berwarna biru safir, hidungnya mancung, bibirnya mungil dan tipis.

Cantik.

Tubuhnya dibalut dress katun putih selutut tanpa alas kaki. Mata biru safir itu mengedip lagi, namun kali ini dibarengi senyum tulus yang menambah kecantikannya. Sementara, bocah kecil yang tadi menggeram itu terpana. Entah sejak kapan ia berhenti menggeram.

"Werewolf bulan darah ya?" tanya gadis itu pelan dan semakin mendekat pada bocah kecil itu.

"K – kau... manusia serigala?"

Bocah pria kecil yang tampan. Rambutnya hitam dengan dua telinga yang meruncing dan mulai berbulu. Matanya berkilat oranye, sedikit marah namun seperti habis menangis. Tubuhnya kurus tak berbaju dan memakai celana panjang hitam. Di bahunya ada bekas gigitan yang tampaknya belum lama.

"Kau harus bisa melewati bulan darah beberapa hari lagi, hmmm?" tanya gadis itu lagi. Si bocah tak menyahut. Ia hanya menggeram pelan.

Bocah kecil itu merasakan sakit berdenyut di pangkal lehernya, ia ingat beberapa jam yang lalu seorang pria bertubuh besar mendatanginya yang sedang menangis karena kehilangan ayah dan ibunya. Lalu setelah itu ia hanya ingat wajah pria itu menatapnya kasihan dan...

Ia meraba luka bekas gigitan itu. Ia menggigit kuat-kuat bibir bawahnya menahan sakit yang kini menjalari tubuhnya. Air matanya keluar dengan keras tanpa suara tangisan. Ia ingin melihat wajah ayah dan ibunya yang meninggalkannya begitu saja, tetapi semakin ia ingin mengingatnya hanya wajah pria itu yang terlintas. Bocah itu lalu tersedu pelan.

Si gadis kecil itu berjongkok di depannya, menjulurkan tangan untuk mengusap bekas luka gigitan di bahu bocah itu.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" raungnya marah, serta merta ia mendorong gadis itu hingga terjungkal.

"YAK! BODOH! Aku habya ingin membantumu!" balas gadis itu dengan kesal sembari berdiri secepat ia jatuh tadi. Bocah itu menyipitkan matanya curiga.

"Selama bekas luka itu masih ada, kau akan kesakitan terus setiap bulan purnama," ujar gadis itu kembali kalem. "Namaku Ryeon Woo. Kim Ryeon Woo. Kau tak usah mencurigaiku. Aku dari klan Braune."

Bocah itu terdiam ia membiarkan Ryeon Woo untuk melalukan sesuatu terhadap lukanya. Ia hanya mengamati gadis bermata biru safir saat menyentuh lukanya. Gadis itu sedang menelisik bentuk gigitannya yang kemudian membuatnya terlonjak.

"I-ini... ini adalah bentuk gigi Yang Mulia Wolfbared... tunggu... jangan bilang kau-"

Ryeon Woo menatap bocah di depannya itu lekat-lekat. Mata hitam bocah itu menghujamnya dan sedetik kemudian refleks tangan gadis itu meraba dadanya sendiri. Ada sesuatu yang mendadak membuat jantungnya berdebar tak karuan. Ya. Hanya karena tatapan mata itu.

"Kau... kenapa nona Kim?"

"Jadi... jadi kau ya, Jeremy Wolfbared?"

Bocah laki-laki itu mengeryit mendengar nana asing yang terucap dari bibir gadis yang berjongkok di hadapannya itu.

"Bu-bukan... namaku Yesung. Bukan Jeremy-"

Entah kenapa gadis itu kemudian tersenyum menatapnya. Ia menjulurkan tangannya pada bocah laki-laki itu.

"Ayo kuantar kau ke istana. Baru saja Tuan Muda Davichi dan Tuan Muda Nathan memerintahkanku untuk membawa mu ke istana," ujar Ryeon Woo.

Untuk beberapa saat Yesung terpana dengan senyuman itu. Ia lupa rasa sakit yang mendera tubuhnya dan otomatis mengulurkan tangannya, menyambut tangan Ryeon Woo yang hangat

*****

blood moonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang