Bab 4. Februari dan Hujan

9 5 1
                                    

Selepas mendung pekat, ada cerita yang tidak sempat tergores tinta. Namun, kisahnya terlalu kuat memenuhi seisi kepala.

Kepada Februari yang masih merindukan hujan.

Waktu dan lara

Elika terdiam di tempat menyaksikan pemandangan di depannya. Pemandangan yang terlihat begitu langka selama ia hidup bersama Fahri. Tawa lepas dengan sosok cewek di samping cowok itu, membuat Elika membuang napas pelan. Pada siapapun Fahri bercanda dan tertawa lepas, itu hak cowok tersebut. Ia tidak berhak untuk apapun.

Ia hendak melangkah mendekat, tetapi urung ketika Fahri mengambil sepotong bakso dari mangkuk Renita dan berakhir cewek itu menggerutu.

"Itu bakso gue, Fahri!"

Fahri justru menyengir. "Minta ya, belum kenyang gue. Mau beli lagi, gak ada duit. Kalo lo mau bayarin sih, gak masalah," ujarnya asal.

Elika melihat Renita tampak mendengkus, kemudian cewek itu kembali melanjutkan makannya, sebelum berucap di sela-sela mengunyah bakso. 

"Males banget gue, nanti lo kebiasaan gitu sama gue."

Fahri hanya terkekeh, kemudian tangannya reflek mengacak poni Renita. "Gak nyangka respon lo gini. Tapi gue seneng lo punya pemikiran kayak gitu. Karena jaman sekarang, banyak orang yang berteman cuma buat manfaatin kekayaan. Jadi, lo harus hati-hati."

Lalu ketika sadar, Fahri segera menjauhkan tangannya dan tersenyum kikuk. Sementara Renita langsung diam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ya, ini hal pertama yang pernah ia rasakan. Meski poninya berakhir berantakan, tetapi Renita merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan marah, hatinya justru berdesir aneh.

Membuang pikiran anehnya, cewek itu akhirnya menarik napas panjang lalu membuangnya secara perlahan. Ia menatap cowok di sampingnya yang masih terlihat tenang menikmati makanan.

"Iya, hati-hati banget gue. Terutama sama lo."

Fahri tidak menjawab apa-apa, lelaki itu justru tertawa keras dan tawa itu menular begitu saja pada Renita. Mereka menikmati hari ini, hari pertama yang seolah sudah menjadi hari kedua dan selanjutnya.

Sementara Elika langsung mengalihkan pandangan. Tempatnya berdiri tidak jauh dari Renita dan Fahri berada. Hanya berjarak sekitar dua meja kantin, tetapi karena posisi mereka membelakanginya jadi dua manusia itu tidak tahu jika ia sudah berdiri di sini dalam waktu yang cukup lama. Menikmati obrolan mereka yang tampak ringan dan tawa yang begitu lepas. Elika sempat berpikir, sejak kapan mereka begitu akrab? Sejak kapan Renita begitu terbuka dengan cowok yang bahkan tidak pernah Elika lihat mereka saling berinteraksi selain membahas hal penting soal tugas?

Sepertinya sebagai sahabat Fahri, Elika melewatkan banyak hal tentang mereka.

Tidak ingin menganggu apa yang sudah mencair, Elika akhirnya memutuskan untuk berbalik. Namun, ia kembali berpas-pasan dengan cowok yang menabraknya di tikungan kamar mandi tadi. Pandangan mereka sempat bertemu, sebelum akhirnya Elika memutuskan lebih dahulu dan berlari menuju kelas.

Ia akan memberikan ruang dan waktu untuk Fahri merasakan apa yang cowok itu inginkan.

Sesampainya di kelas, Elika segera menuju bangkunya. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Karena biasanya, ia akan membuat keanehan bersama Fahri. Tetapi ia tidak boleh egois,  Fahri berhak berteman dengan siapa saja. Karena merasa bosan, ia memutuskan untuk mengambil buku dalam tas. Namun, ia menemukan sebuah wadah bekal di sana. Seketika, cewek itu teringat jika tadi pagi ia membawa bekal dan kue yang sengaja ia siapkan untuk dirinya dan Fahri.

Waktu dan LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang