004 - Childhood Friend

3 1 0
                                    


     Tangisan bocah laki-laki itu tak kunjung mereda meski tumpukan permen dan serentetan miniatur dinosaurus sudah berjejer di hadapannya.

Kedua orang tua bocah itu mulai tampak resah, meremas tangan masing-masing dengan wajah yang seperti menahan tangis.

Mereka yang masih belum terbiasa mengurus anak kecil, akhirnya memutuskan untuk meruntuhkan rasa malu mereka dan meminta bantuan dari tetangga di samping rumah baru mereka dengan wajah tak nyaman yang kentara.

Berikutnya, datanglah sepasang orang dewasa bersama dua gadis mungil berwajah serupa yang kurang dari satu menit sudah membawa tawa kecil kembali pada wajah sendu balita laki-laki itu.

Sejak hari itu, setiap kali orang tua mereka memiliki waktu luang, dua anak kembar dan bocah laki-laki itu pasti terlihat bermain bersama sambil terus tertawa mengejar satu sama lain riang gembira.

Dan tak butuh waktu lama, ketiganya menjadi sangat dekat hingga dapat bermain bersama tanpa dorongan sedikit pun dari orang tua mereka.

Sekumpulan bocah empat tahun yang kerap menerbitkan senyum gemas pada wajah orang-orang yang melihat mereka berlalu-lalang.

Albar si murung yang kini selalu tertawa riang bersama Sheryl, bocah penuh semangat, si pembuat onar, juga Shella, adiknya yang terlihat lebih anggun, si penenang suasana.


"Lo nggak ada selai stroberi Ka?"

Arka menggeleng pelan sebelum menoleh ke arah dapur sambil berujar lantang, "ada peanut butter sama hazelnuts kok Al! Di lemari samping lo!"

Mendengar itu, Albar mendengus pelan, "bukan buat gue. Shella suka selai stroberi," balasnya setengah menggerutu.

Sementara Albar sibuk mengutak-atik dapur luas terbuka rumah raksasa Arka, teman-temannya yang lain mendesah lelah sembari mengeluarkan beberapa buku dari tas mereka dan memajangnya di meja besar ruang tengah rumah megah itu.

"Gue bener-bener nggak mau belajar."

"Sama..."

"Kamar tamu lo kosong kan Ka? Gue ngantuk banget.."

Serentetan kalimat yang ditujukan untuk menghindari agenda kegiatan mereka sore ini terus bermunculan hingga pada akhirnya beberapa menit kemudian, keenam remaja itu sudah kembali menutup buku dan mencari posisi paling nyaman untuk bersantai dalam ruangan berhawa sejuk rumah Arka.

"Shey, peanut butter nggak apa-apa?" tanya Albar sembari menyodorkan roti panggang beroles selai kecoklatan pada Shella.

Gadis itu mengangguk, mengucap terima kasih dengan sebelah tangan mengusap kepala Albar dan sebelah lagi mengambil selembar roti yang disodorkannya.

Sheryl, dengan posisi kepala menggantung terbalik pada sisi sofa ruangan itu mencolek pipi Albar pelan sambil menatapnya tajam.

"Punya gue mana?"

"Lo bikin sendiri."

Melebarkan mata, gadis itu lalu membangkitkan diri dari pose luar biasa tidak anggunnya dengan dengusan tak percaya.

"Wahh, padahal lo waktu kecil manis banget. Kalo tau gedenya bakal kurang ajar gini, dulu harusnya gue tatar lo habis-habisan–"

"Dulu gue nggak bisa bedain lo berdua. Karena Shella selalu kayak malaikat, gue kira lo yang sepasang sama Shella juga sama baiknya, tapi ternyata gue salah!"

Albar memotong ucapan Sheryl dengan penutup kalimat yang dilebih-lebihkan. Dalah sekejap, ruang tengah rumah keluarga Arka menjadi panggung pertunjukan dengan dua orang terheboh kelompok mereka sebagai tokoh utamanya.

Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang