Bagian 4

16 0 0
                                    

Happy Reading



"I miss you Ayy." 

Kalimat pertama yang Arsya ucapkan di dalam mobil. Satu kalimat yang berhasil membuat diriku membeku. Jujur aku juga amat merindukan Arsya tapi sikap acuhnya padaku beberapa bulan ini membuatku berfikir bahwa dia tidak mencintaiku lagi.

"Do you miss me?"

Arsya kembali mengatakan kalimat yang semakin membuatku diam. Kenapa baru sekarang dia kembali lagi seperti ini? Kenapa saat beberapa bulan yang lalu diriku sedang ada didalam keterpurukan ia malah mengabaikanku?

"Ayy aku tau aku salah. Aku sadar atas kesalahan aku itu. Maaf aku gaada disaat kamu lagi sedih disaat kamu lagi ada masalah, disaat kamu butuh aku." Arsya menghela nafas.

"Tapi Ayy kamu tau gimana banyaknya kerjaan aku kan. Kenapa kamu ga bilang kalau kamu lagi butuh aku."

Ucapan Arsya barusan membuatku kesal. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu padahal dengan amat jelas aku menelfonnya berkali kali saat itu juga megirim pesan bahwa aku sangat membutuhkannya.

"Kamu ga pura-pura lupa kan Ar? Atau mungkin kamu amnesia? Kok bisa sih kamu bicara kaya gitu? Aku telfonin kamu puluhan kali, aku kirim pesan ke kamu sebanyak itu. Ar aku tau semenjak kamu dimutasi ke kantor pusat waktu kita jauh berkurang. Bahkan untuk berkabar aja kalau aku ga lebih dulu hubungin kamu, kamu mungkin gaakan kasih kabar ke aku." 

Aku punya banyak pembelaan atas semua ucapan yang Arsya ucapkan. Aku punya banyak alasan mengapa akhirnya aku memilih mengakhiri hubunganku dengan Arsya bukan karena Ramon saja tapi banyak pertimbangan yang aku fikirkan tetang bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Arsya.

"Aku ga pernah terima telfon dan pesan-pesan itu Ayy." Arsya menyanggah penataranku.

Tidak-tidak aku tidak berbohong aku masih menyimpan semua riwayat panggilan dan pesanku kepada Arsya.

"Berhenti dulu." Aku meminta Arsya menepikan mobil yang sedang ia bawa.

"Mau ngapain? Engga kamu mau turun? Engga engga aku gaakan berhenti." Apa maksudnya Arsya? Dia kira aku gadis remaja yang sedang marah dan minta diturunkan dijalan?

"Engga, cepet pinggirin dulu mobilnya." Nada bicaraku sudah mulai tinggi Arsya tau jika nada bicaraku sudah berubah artinya aku sedang marah.

Arsya menepikan mobilnya, lalu aku segera mengambil ponselku dan menunjukkan semua riwayat telfon dan pesanku dihari itu kepada Arsya.

"Ko bisa? Tapi aku bener bener ga nerima telfon dan pesan itu Ayy." Arsya kembali menyanggah hal yang sudah jelas-jelas terbukti fakta didepan matanya.

"Terus menurut kamu telfon dan pesan itu sampainya kemana? Kamu bisa jelasin? Kamu fikir pesan itu hilang tiba-tiba gitu?"

"Engga Ayy bukan gitu maksud aku wait itu sekitar 3 bulan yang lalu kan waktu itu handphone aku sempat tiba-tiba mati aku baru sadar pas pagi-pagi aku cek handphone aku. Dan saat handphone aku udah benar semua riwayat chat telfon dan panggilan lain itu hilang."

Okey penjelasan Arsya masuk akal tapi apa menurut kalian apa wajar saat berpacaran dengan seseorang tapi bahkan keberadaan kita seperti tidak dianggap?

"Okey misalnya semua kejadian itu betul. Menurut kamu wajar ga sih Ar kamu ga pernah kabarin aku duluan kamu ga pernah chat aku duluan kamu juga ga pernah nyariin aku. Bahkan sampai di satu bulan terakhir ini aku benar-benar menghilang apa kamu cariin aku Ar? Aku tau kamu sibuk Ar aku ngerti. Aku juga sibuk Ar walaupun mungkin aku ga sesibuk kamu tapi aku masih ngerti prioritas aku itu tetep kamu. Kamu Ar."

Lelah sekali rasanya harus menceritakan luka yang harus kependam selama ini kepada Arsya.

"Aku memang bukan prioritas kamu kan Ar?" Air mataku sudah menggenang. Aku lelah, benar-benar lelah jika mungkin saat itu tidak ada Ramon yang melihatku menangis seorang diri didalam ruangan kerja dulu mungkin aku sudah melakukan hal yang membuatku tidak ada di dunia ini lagi.

"Kamu bisa dateng kan Ayy kerumah aku. Kamu bisa datengin aku Ayy."

Tangisku pecah saat itu juga setidak mengertinya itu Arsya terhadapku yang jelas-jelas aku mencarinya setiap aku membutuhkan dia.

"Berapa kali Ar aku kerumah kamu dan hampir setiap hari kamu lembur dan bahkan kadang kamu ga pulang kerumah. Aku cape Ar kenapa kamu dateng lagi setelah semuanya baru selesai? Kenapa kamu datang setelat ini? Kenapa kamu dateng disaat aku udah terbiasa lagi tanpa kehadiran kamu. Kenapa..."

Arsya menarik tengkukku, bibir yang berbulan bulan ini tidak menyapaku, yang sangat kurindukan akhirnya bertemu. Tunggu aku sedang marah padanya aku berusaha memberontak setiap lumatan bibirnya dibibirku. Tapi hatiku tidak munafik aku benar-benar merindukan sentuhan ini.

Pertahananku runtuh, aku mulai menikmati lumatan demi lumatan yang Arsya berikan. Kelembutan yang selalu ia berikan disetiap pertemuan bibir kami. Ini membuat kupu-kupu dalam perutku seperti ingin meledak. Aku menikmatinya, Arsyapun semakin menarik tengkukku membuatku semakin melayang aku mulai bermain, tanganku sudah sampai di belakang rambut Arsya kuremas perlahan rambut halusnya.

Seolah tak peduli apa yang terjadi sebelumnya moment ini seperti mempersatukan diriku dengan Arsya. Biarkan kami sebentar menikmati momen kerinduan kami ini.

Aku dan Arsya mulai kehabisan oksigen, perlahan kami berdua memundurkan kepala kami masing-masing. Aku tak berani menatap Arsya rasanya malu sekali setelah amarah yang menggebu-gebu aku bisa langsung diam dengan pertemuan bibir itu.

Arsya menarik daguku untuk bisa menatapnya. Membuatku mau tidak mau melihat mata coklat Indah itu. Aku masih bisa melihat Cinta Arsya yang begitu besar terhadapku.

Tidak bisa kupungkiri rasa cintaku pada Arsya pun masih ada walau tak sebesar dulu tapi Aku tetap masih merasakan getaran diantara kami berdua.

"Kasih aku kesempatan kedua yah Ayy, please. Ajarin aku semua hal yang kamu mau, ingetin aku semua hal yang kadang aku lewati atau aku lupain. Kamu tau aku memang bukan orang yang mudah mengekspresikan perasaan aku kan Ayy? Aku sayang dan Cinta sama kamu. Aku cuma bingung bagaimana cara mengungkapkannya ke kamu biar kamu tau kalau Cinta aku ke kamu itu begitu besar Ayy."

Wajah arsya amat sendu aku tau dia sungguh-sungguh mengatakan itu. Walau aku masih mencintai Arsya tapi dihatiku pun sudah ada sedikit ruang untuk Ramon. Aku tidak mungkin kembali pada Ramon dan meninggalkan Arsya bukan?

"I don't know Ar. Semua ini terasa tiba-tiba banget. Aku belum bisa mencerna semua situasi yang ada saat ini."

Aku benar-benar bingung kembali pada Arsya sama saja aku menyakiti Ramon. Tapi apa kelanjutan hubunganku dengan Ramon? Dia pun tidak pernah membahas tentang hubungan kami. Lalu aku harus bagaimana?

"Aku tau, kamu bisa fikirin ini baik-baik dulu Ayy. Aku siap nunggu jawaban kamu kapanpun. Yang terpenting yang harus kamu tau aku selalu berharap yang terbaik buat kamu dan kebahagiaan kamu."

Melelahkan sekali rasanya ada di keadaan seperti ini. Aku benci harus memilih. Aku benci ketika aku memilih sesuatu itu selalu membuatku menyesal di kemudian hari. Tidak bisakah aku melihat masa depanku akan seperti apa? Atau sebuah petunjuk apa yang harus aku pilih?

Sesuatu yang saat ini ada di fikiranku.  Siapa yang lebih kucintai.
Arsya atau Ramon?



28 Februari 2022

With Love,
Acaa.

MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang