Happy Reading
•
"Aku mencintai orang lain Ar. Maafin aku, aku tau ini salah tapi aku gabisa terus-terusan bohongin kamu kalau aku ga baik-baik aja." Aku bodoh memang mengucapkan hal seperti ini kepada seseorang dihadapanku yang sudah jelas sangat tulus mencintaiku, matanya berkaca-kaca saat ini. Ya tuhan maafkan aku.
"Siapa?" Lelaki dihadapanku ini bertanya, Arsya namanya yang saat ini masih menjadi pacarku sebelum beberapa menit kedepan status itu berganti.
"Teman kerjaku, Ramon." Arsya diam, menahan air matanya. Seorang laki-laki menangis karenaku, sejahat itukah aku saat ini? Sampai membuat Arsya jelas menahan tangisnya.
"Kamu yakin cinta sama dia? Kamu baru 3 bulan kenal sama dia Ay." Arsya bergetar mengatakan itu, aku tau ini sulit baginya. Tetapi ini juga sulit untukku.
"Ar, cinta ga butuh waktu lama untuk tumbuh. Bahkan sama kamupun aku semudah itu untuk jatuh cinta." Ucapan macam apa ini? Aku tau, aku sangat bodoh.
"Ay, aku kasih kamu waktu dulu ya buat fikirin ini. Kita udah 3 tahun jalanin ini loh Ay 3 tahun bukan waktu yang sebentar." Arsya menggengam tanganku, meyakinkanku bahwa aku seharusnya tidak melakukan hal ini.
"Aku udah fikirin ini Ar, aku gabisa. Kamu jarang kasih kabar ke aku, aku minta ketemuan pun kamu selalu alesan. Kamu terlalu sibuk sama hidup kamu sekarang. Disaat aku ada masalah kamu gaada, saat aku butuh kamu, kamu juga gaada Ar. Ramon nemenin aku beberapa bulan ini, dia tampung semua cerita aku, keluh kesah aku, dia juga yang buat aku senyum lagi. Sampai akhirnya aku gabisa buat batasan perasaan aku ke dia Ar. Maafin aku Ar." Aku mengatakan semuanya, hal yang akhirnya membuatku berpaling pada Ramon, rekan sekantorku yang selalu ada untukku beberapa bulan ini.
Arsya mengangguk, perlahan mulai melepaskan genggaman tangannya padaku. Lalu meneteskan air mati. Aku memalingkan wajah tidak ingin melihat wajah sendunya itu, itu membuatku merasa sangat bersalah.
"Aku tau aku sibuk beberapa bulan ini, kamu tau alasannya sendiri Ay. Kerjaan aku bener-bener banyak dikantor baru. Salah aku juga karena bener-bener gaada waktu buat kamu, Aku minta maaf soal ini." Arsya menghela nafas, kembali menarik nafas aku tau dia sudah menyerah untuk menahanku.
"Dan kalau emang ini keputusan akhir kamu, Aku terima Ay. Gapapa. Aku mau kamu bahagia, walau bukan sama aku. Terima kasih untuk 3 tahunnya Ay, kamu tau karena kamu aku banyak berubah jadi lebih baik. Kamu perempuan pertama buat aku Ay yang bisa luluhin hati aku. Kamu gaakan pernah aku lupa, kamu akan selalu ada diingatan aku. Maaf kalau selama ini aku belum bisa jadi pacar yang baik untuk kamu. Aku sayang kamu Ayana, I love you." Arsya mencium keningku sebelum akhirnya pergi.
Aku Ayana, perempuan bodoh yang meninggalkan lelaki sesempurna Arsya.
•
•Aku kembali ke kantor setelah pertemuan dengan Arsya. Aneh rasanya seperti ada yang hilang. tapi mengapa? Bukankah ini yang aku inginkan. Apa aku sedang merasakan kehilangan? Ah rasanya ternyata menyesakkan.
Aku kembali berkutat dengan komputer dihadapanku. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, tapi mengapa rasanya susah sekali untuk fokus?
Tak lama ada tangan yang menyerahkan secangkir ice coffee padaku. Aku menerimanya dengan senyuman, lalu mengucapkan terima kasih. Dia lelaki yang menjadi alasan semua ini berakhir, Ramon.
"Ay, kamu darimana? Aku cari kamu dikantin kantor gaada." Ramon bertanya. Aku bingung apa yang harus kujawab. Tapi bukankah aku harus jujur, ini yang kita harapkan bersama.
"Ah iya, aku habis ketemu sama Arsya." Aku diam, bingung kata apa yang harus aku ucapkan selanjutnya. Sampai akhirnya aku mengatakannya.
"Kita putus." Ramon terdiam, entah ekspresi apa yang ada diwajahnya. Rasanya seperti dia bingung. Tapi kenapa? Bukankah harusnya dia senang.
Bukankah harusnya dia tersenyum dan menggengam tanganku? Ada apa dengan dirinya?"Hmm, aku balik dulu deh ya ke ruangan aku. Masih ada kerjaan." Setelah mengucapkan ini dia pergi. Meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan. Apa-apaan sikap itu? Apa maksudnya? Ah ini membuatku gila.
•
•Pukul 5 sore waktu sudah menunjukkan bahwa waktu pulang sudah tiba. Aku segera berkemas begitupun rekan-rekan kerja yang lain. Saling menyapa, ada yang mengeluh dengan beratnya pekerjaan hari ini, dan ada pula yang pamit untuk langsung pulang kerumah.
Aku membereskan barang-barangku, memakai tas lalu berjalan menuju lift. Sebelum sampai pintu lift seketika ada yang menahan tanganku, aku menoleh menatap orang itu, ah Ramon.
"Ke atap sebentar yuk." Ucapnya.
Aku terseyum lalu mengangguk tanda setuju dengan yang dia katakan. Kami naik lewat tangga karena sudah jelas lift pasti digunakan untuk para karyawan turun menuju lobby untuk segera pulang.
Sampai diatap kami saling tatap, Ramon tersenyum padaku, lalu menggenggam tanganku mengecupnya sekilas. Bagaimana aku tidak tebuai dengan sikap manisnya ini?
"Maaf kalau tadi siang sikap aku buat kamu bingung. Jujur aku bingung harus ngapain tadi, secara ga langsung aku seperti seorang perusak hubungan kalian." Apa yang dikatakan Ramon benar, dia memang perusak hubunganku dengan Arsya tapi dia tidak akan menjadi seperti itu kalau aku sendiri tidak memberika kesempatan padanya. Kami, sama-sama salah.
"Kamu baik-baik aja kan?"
Pertanyaan Ramon membuatku bingung. Aku sendiri tidak tau apa aku baik-baik saja? Sebelum putus dengan Arsya ketidakberadaan Arsya tidak membuatku gelisah seperti ini. Tapi kenapa setelah melepaskannya, rasanya menyesakkan?
"Asal kamu selalu temenin aku, aku pasti baik-baik aja Ram" Aku tersenyum, jawaban ini sudah cukup rasanya.
Ramon memelukku, hangat rasanya. Seperti sebuah kenyamanan untuk melunturkan kegelisahanku saat ini.
Kami belum memiliki hubunga special apapun sampai saat ini, kami memang saling mengatahui perasaan masing-masing tapi status yang lebih jauh tidak pernah jadi topik bahasan untuk kami berdua.
Hari ini, aku harap aku tidak salah mengambil keputusan. Aku harap ini tidak menjadi hal yang akan aku sesali dikemudian hari. Semoga.
***
Ini cerita pertama ku dan semoga kalian bakal suka yaaa.
2 Febuari 2020
Kecup manis
Acaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me
Teen FictionKamu bagai oksigen di hidupku. Menemani setiap nafasku tapi aku tidak menyadari bahwa kamu sangat penting bagiku. Dan saat kamu pergi di titik itulah aku sadar bahwa aku sangat membutuhkanmu.