Serasa ingin lepas, Mada memijat dan sesekali memukuli pundaknya. Pegal yang menjalar dari tengkuk ke pinggang membuatnya kalang kabut sendiri. Berdiri salah, duduk salah, berbaring apalagi. Ia pun menghela napas, berkali-kali menggendong Laksa cukup menyiksa tubuhnya.
Meski kembar, Laksa lebih tinggi dari Mada. Sedikit, mungkin sekitar tiga senti. Namun, semua itu seakan berpengaruh kalau Mada harus setengah berjongkok dan menawarkan punggungnya untuk membawa Laksa. Terlebih ia melakukan itu sejak di sekolah hingga di rumah sore ini. Dari UKS ke kelas yang harus berlanjut naik ke lantai dua--kelasnya sendiri, lalu dari pemberhentian bus sekolah ke rumah yang jaraknya sekitar sepuluh rumah.
Lelah, pasti. Saat sampai, Mada hanya bisa mengusap peluh dan kembali lari ke dapur untuk mengambil baskom berisi air hangat--yang ia ambil dari termos--dan kain bersih. Dengan telaten, ia mengompres kening saudara kembarnya yang masih terasa panas. Ia juga mengganti pakaian Laksa dan mengelap badannya yang penuh keringat. Setelah itu, ia baru mengurus dirinya sendiri yang tampak acak-acakan.
"Telpon Ibu, nggak, ya?"
Mada bermonolog. Ia menoleh, menatap Laksa yang mengerutkan dahi dalam lelapnya. Entah apa yang dirasakannya, Mada tak tahu-menahu. Kalau bisa, ia sudah meminta Tuhan untuk membagi rasa sakit Laksa. Toh, mereka sudah terbiasa memakai barang yang sama. Namun, kalimat itu hanya sebuah andai yang tidak pernah terjadi begitu saja.
"Telpon aja, deh, daripada dimarahin. Kan nanti pas pulang Ibu bakal tau juga."
"Jangan coba-coba!"
"Sa?" Mada terkesiap dan lekas duduk di samping Laksa yang masih berbaring. "Lo udah bangun?"
"Nggak, masih mimpi. Ya, iyalah, udah. Ngaco, lo!"
"Masih pusing?" Mada benar-benar tidak ingin diajak bercanda.
Laksa perlahan membuka matanya. Perih, hawa panas seketika terasa dan mengalir di bagian wajahnya. Bahkan, di dalam mulutnya terasa berapi-api dan tak mengenakkan sama sekali. Ia lantas menelan ludah, sungguh tidak enak.
Lelaki itu berusaha duduk yang langsung dibantu oleh Mada. Kemudian menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Ia heran, mengapa tiba-tiba tubuhnya tumbang seperti ini? Daya tahannya memang berbeda dengan orang lain. Ia rentan dan harus berhati-hati sepanjang waktu, tetapi tak lucu jika angin malam saja bisa membuatnya oleng begini.
"Udah nggak, kok. Lemes aja."
"Mau makan apa? Gue bikinin."
Laksa berdecak. "Nggak usah sok-sokan, yang ada ntar dapur Ibu kebakaran."
"Lebay! Gue nggak sebego itu."
"Udah, lo cek dapur sana! Lihat, Ibu ada nyiapin makan malam atau nggak. Biasanya kalau lembur dia ngasih catatan, kan?"
"Iya, deh. Kalau nggak ada, gimana?"
"Ya, lo tinggal ke sini lagi."
"Ck, buang-buang energi aja."
"Ikhlas, nggak?" Laksa melipat tangannya di depan dada.
"Iya, iya. Bawel!"
Mada menjulurkan lidahnya sebelum keluar kamar, sedangkan Laksa membalasnya dengan tersenyum tipis. Di balik pertengkaran mereka yang hampir terjadi setiap jam, ada perhatian yang hanya diketahui oleh sesama saudara.
Sambil menunggu kembarannya, Laksa menyibak selimut dan berjalan ke depan kaca rias yang ada di meja belajar. Ia lekas duduk, mensejajarkan diri pada cermin yang sedikit lusuh. Lelaki itu sontak meraba wajahnya yang makin tirus, bahkan rahang tajamnya kian terlihat tegas, seperti tidak ada daging di dalamnya. Bibir pucatnya juga mengering hingga dapat dikelupas. Tidak ada pemandangan indah yang dapat dipetik dari wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sick Twin ✔
Teen FictionSetelah sempat dinyatakan remisi, Mada tak dapat percaya bahwa Laksa, saudara kembarnya harus berurusan dengan penyakit yang sama lagi. Mereka kembali terjebak dengan jalan keluar yang tak dapat dipilih sesuka hati. Mau tidak mau, kedua kalinya jara...