Helaan napas panjang muncul ketika terik matahari perlahan turun, meninggalkan jejak oranye yang sedikit terlihat dari tepi lapangan. Sebenarnya Laksa tak pernah benar-benar mau menunggu, apalagi menonton latihan Mada seperti ini. Namun, apa boleh buat? Saudara kembarnya itu mengancam A-Z agar ia mau mematung dan menghabiskan siangnya dengan pemandangan yang membosankan.
Mada pun aneh, Laksa sangat menyadarinya. Entah kesurupan apa, tak biasanya lelaki itu memintanya untuk menemani. Terlebih setiap berhasil mencetak skor di lahan lawan, ia menoleh dan melambaikan tangan seperti anak-anak tengah pamer ke orang tuanya. Meski lebih muda, Mada jarang terlihat seperti adik kecil yang menggemaskan. Ia lebih cocok dinilai menyebalkan dibanding hal itu.
"Mau sampai kapan mainnya?" tanya Laksa saat Mada mendekat dan mengambil air kemasan yang disediakan klub.
"Udah kelar, kok. Kenapa? Lama, ya?"
"Masih nanya!"
Mada sontak tertawa. Raut muka Laksa yang seakan ingin menelannya hidup-hiduplah alasannya. Ia tidak iseng, tidak juga berniat, hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama saudaranya, selagi bisa. Pertandingan yang ia tunggu-tunggu segera datang dan Mada ingin berbagi prosesnya. Lagi-lagi, mumpung mereka masih memiliki kesempatan.
"Langsung pulang?" Laksa memberikan handuk kecil yang lekas Mada raih.
"Lo mau ke mana dulu?"
"Nyari makan, laper."
"Emang tadi siang nggak makan?"
Jujur, Laksa menggeleng. "Sori, bekalnya dihabisin si Semprul."
"Kok lo kasih, sih? Kan itu Ibu yang masakin."
"Dia belum makan dari pagi dan nggak bawa uang jajan. Jadi, ya, gue kasih aja."
Mada berdecak dan duduk dengan kesal. "Kan lo bisa pinjemin dia duit, Sa."
"Lo lupa? Lo belum bayar utang, gue bokek."
"Eh? Iya, ya."
Laksa lantas menoyor jidat Mada pelan, lalu berdiri dan membersihkan bagian belakang celananya. "Ayo, traktir gue mi ayam. Utang lo gue anggap lunas."
"Gue bayar kontan, deh. Makan di rumah aja, ya?"
"Kelamaan."
"Tapi, jajan di pinggir jalan nggak sehat buat lo."
"Ya udah, nyari yang di pelosok sekalian."
"Laksa--"
"Lama, ayo cepetan!"
Mada gelagapan saat Laksa tiba-tiba menarik tal ransel yang sudah tersampir di pundaknya. Sambil berjalan, ia berpamitan ke rekan klub kemudian meletakkan raket tenisnya ke tempat penyimpanan. Laksa kian mempercepat langkah saat Mada sempat-sempatnya mengoceh pada pelatihnya. Ia tak peduli jika terlihat dingin atau sejenisnya, yang penting bisa segera enyah dari sana sebelum gelap memenuhi langit.
Setelah sampai di gerbang sekolah, Laksa melepaskan genggamannya dan sedikit menghempas tali ransel Mada. Lelaki yang berjalan miring itu pun langsung terhuyung-huyung dan mendengkus. Alisnya bertaut dan mulutnya manyun-manyun tak karuan saking kesalnya. Mada bahkan bersedekap dan berjalan dengan dagu yang diangkat. Di belakang Laksa, ia terus menirukan mimik saudaranya itu saat mengeluhkan aktivitasnya seharian.
"Makan di sini aja," ucap Laksa saat menemukan kedai mi yang ia idam-idamkan sejak kemarin sore.
Mada menggaruk kepalanya. "Lo udah survei? Kalau kuahnya banyak micin gimana? Saus dan sambelnya higienis, nggak?"
"Sstt!" Laksa buru-buru menutup mulut Mada, sementara Mada mengernyit dan meronta untuk dilepaskan. "Nggak sopan ngomong gitu di depan penjualnya, Da."
"Ih," Mada berhasil menyingkirkan tangan Laksa, "gue cuma nanya. Nggak kenceng juga, kok. Mereka nggak bakal denger."
"Gue makan originalnya aja, oke? Udah, lo nggak usah berisik. Cepet masuk!"
Mada masih tak habis pikir dengan keinginan Laksa, tetapi ia tetap menurut dan mengiakan permintaan lelaki itu. Saat di dalam, ia sempat meminta maaf pada bapak yang meracik mi, meski tak ditanggapi apa pun karena kurang paham dengan situasi yang dimaksud. Ia pun mengedarkan pandangan, meneliti setiap sudut tempat ini. Tidak begitu buruk, batinnya.
Karena Laksa harus menjaga pola makannya, secara langsung Mada ikut berdiet pula. Sebenarnya bisa saja jika ibu mereka mau repot-repot membuat dua makanan yang berbeda untuk disantap setiap hari. Namun, hal itu hanya membuang-buang uang dan tenaga. Toh, Mada tak pernah mempermasalahkannya. Hitung-hitung ajang mengatur pola hidup agar stamina bermainnya tetap terjaga.
Alhasil, lelaki itu juga tak pernah berinisiatif jajan mandiri di warung-warung seperti ini. Ia sendiri bingung, apa yang membuat Laksa tiba-tiba ingin makan di sini? Sepertinya omong kosong kalau alasannya hanya perkara bekal yang dihabiskan teman sekelasnya. Ayolah, mereka tidak mungkin sampai segitunya, bukan? Mada lekas menggeleng, mengusir pemikirannya yang sempit. Tidak ada yang tidak mungkin, apalagi ia tak benar-benar mengetahuinya.
"Ibu dibungkusin juga, nggak, ya?" Laksa bermonolog, tetapi Mada tetap menoleh dan merasa kalimat itu untuknya.
"Iya aja, duit gue cukup, kok."
"Tapi itu berarti Ibu tau kalau kita jajan di luar."
Mada sontak mengerutkan kening. "Emang lo gak berniat ngasih tau Ibu?"
Laksa menggeleng. "Gue malas dimarahin."
"Udah tau bakal dimarahin, masih dilakuin. Cuma lo yang gitu emang, Sa."
"Sekali-sekali doang, Da."
"Iya, iya, terserahlah." Mada mengaduk es jeruknya, lalu meminumnya hingga separuh gelas. "Bilang aja nggak apa-apa. Makan mi ayam di sini nggak dosa, yang dosa itu kalau lo bohongin Ibu."
"Iya juga, okelah. Bungkusin aja, sekalian lo pesen pangsit lagi, ya. Buat jajan di jalan."
"Bangke, dikasih hati malah minta jantung."
Laksa hanya menyeringai saat Mada hendak memukulnya. Ia tahu, lelaki itu tidak akan tega melakukannya. Mada tidak akan pernah menang darinya dan itu karena dirinya sendiri, Laksa tidak ada sangkut-pautnya.
Si kembar itu lekas pulang setelah pesanan mereka selesai dibungkus, serta menyelesaikan pembayaran. Karena hari mulai gelap dan angkutan umum tak kunjung terlihat, mereka memutuskan untuk jalan kaki hingga ke rumah. Meski sedikit jauh, rasanya jadi tak seberapa karena Mada terus mengajak Laksa mengobrol. Dari kekonyolan guru olahraga sampai ketidakberuntungannya saat mata pelajaran bahasa Indonesia diceritakan sangat antusias dan penuh drama. Laksa tidak bisa bosan. Ekstrover seperti Mada memang ada-ada saja.
"Kalau nggak kepepet, aku nggak mungkin menghubungimu, Mas. Laksa anak kamu juga, lupa?"
Saat menginjak teras rumah dan mendekati ambang pintu, samar-samar suara dari dalam rumah terdengar oleh mereka. Ibu berulang kali menekankan kalimat keputusasaan yang membuat Laksa menghentikan langkahnya. Mada yang menyadari itu lantas meraih dan menggenggam tangan saudaranya erat-erat. Tanpa menginterupsi, mereka mendengarkan percakapan telepon yang bisa ditebak dengan siapa dari luar.
"Kalaupun harus, aku rela memberikan hak asuhku, Mas."
🍃🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sick Twin ✔
Teen FictionSetelah sempat dinyatakan remisi, Mada tak dapat percaya bahwa Laksa, saudara kembarnya harus berurusan dengan penyakit yang sama lagi. Mereka kembali terjebak dengan jalan keluar yang tak dapat dipilih sesuka hati. Mau tidak mau, kedua kalinya jara...