Mada belum membuka mulutnya setelah bertemu sang ayah. Ia lupa, kapan terakhir bertemu lelaki sekaligus mantan pelatihnya tersebut. Pasalnya, setelah berpisah dan melanjutkan hidup dengan keluarga masing-masing--mengingat ayahnya sudah menikah lagi, ia juga memutuskan untuk keluar dan masuk klub lain. Lagi pula, ada hati yang harus ia jaga dan beradaptasi di tempat baru tidaklah sulit, baginya.
Laksa telah dipindahkan ke ruang rawat sesuai saran dokter. Hasil pemeriksaan sebelumnya juga akan segera keluar dan mereka tinggal menunggu sebentar lagi. Mada yang sedari tadi belum mengganti pakaian tak berminat beranjak, apalagi pulang. Ia terus di samping saudara kembarnya sambil memunggungi ayahnya yang belum enyah dari sana.
"Kamu beneran nggak mau nyapa Ayah, Da?"
Perlu waktu cukup lama untuk membuka percakapan, Mada pun mendengkus. Ia menidurkan kepalanya di dekat Laksa, bahkan memeluk lelaki itu seolah menyatakan kepemilikan. Sekilas ia melirik, memperhatikan gerak-gerik ayahnya yang menjaga jarak dengan ibu. Kemudian ia mengeratkan dekapannya, tak peduli jika Laksa merasa terjepit, panas, atau hal yang lain. Toh, hitung-hitung agar lelaki itu mau membuka mata.
"Mau bagaimanapun, Ayah tetap ayahmu. Kamu seharusnya nggak perlu menjauh seperti itu, sampai pindah klub segala. Memang ibumu mempermasalahkan?"
"Nggak usah menuduh di depanku langsung, Mas."
"Aku, kan, cuma nanya. Lagian, aneh kalau anak itu tiba-tiba keluar."
"Nggak aneh, kok."
Kali ini Mada tak bisa tinggal diam. Suara ibu dan ayahnya yang terus bersahutan lama-lama dapat memecahkan gendang telinga jika dibiarkan. Ia pun bangkit, menghadap orang tuanya yang menatap lekat. Seketika tubuhnya bergetar, ketika harus melihat dua sosok yang semula dekat kini terpisah bantal sofa seperti ini. Namun, Mada mengabaikan pandangannya dan memalingkan muka.
"Mada keluar bukan karena Ayah, bukan juga karena Ibu. Ini nggak tiba-tiba karena tawaran dari klub Mada yang sekarang emang udah Mada terima sejak lama."
"Tapi, Nak, itu rival klub kita. Bagaimana bisa kamu--"
"Klub Ayah," ralat Mada. "Udah, urusan itu jangan dibahas lagi. Sekarang, mending kalian mikirin Laksa."
"Da--"
"Ibu, udah! Maaf kalau kasar, tapi Mada capek banget. Kasihan Laksa juga kalau denger kalian bertengkar di sini."
Kedua orang dewasa yang tertegun itu tak lagi berkutik. Mereka baru keluar kamar rawat saat seorang perawat mengabarkan bahwa hasil pemeriksaan Laksa telah keluar dan dokter ingin menjelaskannya di ruangannya. Kini, Mada bisa menghela napas panjang dan menatap langit senja yang segera datang.
"Da?"
Mada langsung gelagapan saat mendengar namanya dipanggil. Ia buru-buru mendekati Laksa dan mengamati lelaki itu di setiap sudut wajahnya. Perlahan, mata yang semula tertutup lekas terbuka dan Mada pun tersenyum lega. Akhirnya.
"Lo butuh apa? Perlu gue panggilan ners atau dokter?"
Laksa menggeleng dan mendongak, mencari infus yang seharusnya tergantung di atas. Benar saja, batinnya. Justru aneh kalau ia sekadar berbaring di sini.
Lelaki itu berusaha untuk duduk, tetapi Mada menahannya untuk tetap diam. Siapa pun yang melihat pun tahu, Laksa masih lemas, bahkan rona wajahnya masih pucat tak berwarna seolah tidak ada aliran darah di sana. Karena dayanya belum sempurna, Laksa menyerah dan meminta Mada untuk mengatur kasurnya agar sedikit lebih naik.
"Makasih, ya," ucap Laksa kemudian.
Mada mengangguk. "Lo belum jawab pertanyaan gue."
"Yang mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sick Twin ✔
Teen FictionSetelah sempat dinyatakan remisi, Mada tak dapat percaya bahwa Laksa, saudara kembarnya harus berurusan dengan penyakit yang sama lagi. Mereka kembali terjebak dengan jalan keluar yang tak dapat dipilih sesuka hati. Mau tidak mau, kedua kalinya jara...