Part 2

7.5K 603 8
                                    

            Tubuh Ravy hanya kaku menerima pelukan seorang cowok tak dikenal itu. Perlahan dia mencoba mengingat siapa cowok yang dengan senangnya memeluknya seperti ini. Yogya. Cowok ceria. Hanya satu yang dia ingat sekarang : Rasta! Teman masa kecilnya di Yogya. Dia ingat aroma lemon yang selalu tercium dari rambutnya, ingat kebiasaan memeluknya yang selalu menggosok-gosokkan hidungnya di bahu Ravy, ingat nada nafas yang menghembus perlahan dari hidungnya yang menerpa leher Ravy.

            “Kamu Rasta, kan?” Ravy melepas pelukannya dan tersenyum lebar. Cowok yang melepaskan pelukannya dengan tidak rela itu ikut tersenyum lebar. Wajah ceria itu masih nampak jelas di wajahnya seperti beberapa tahun yang lalu. Rasta adalah teman satu-satunya, teman yang selalu menemaninya saat dia sedang kesal, dan saat Ravy sedang berlibur di sini. Rasta berusia setahun lebih tua, namun wajahnya itu menipu usianya. Dia masih terlihat seperti beberapa tahun di bawahnya, bahkan terlihat seperti adiknya. Namun jangan salah, karena Rasta yang wajahnya lembut dan ceria itu merupakan atlet karate sejak kecil. Karena itulah walaupun dia tampak lemah, namun dia tidak selemah itu. Ravy sering dikalahkan olehnya dalam setiap turnamen karate. Sejak SMA Ravy sudah berhenti dari karate.

            “Aku kangen...! Kangen banget...!” Rasta memeluknya lagi untuk yang kedua kalinya. Tiba-tiba tangan Bima mencekal lengan Ravy, menariknya dari pelukan Rasta.

            “Loe siapa?” kali ini suara Bima terdengar tajam, kembali pada kepribadian Bima dulu saat SMA. Ravy begidik ngeri. Sisi itu telah muncul kembali! Ucapan ‘Loe-Gue’nya muncul kembali. Biasanya ucapan itu muncul saat Bima sedang kesal pada seseorang.

            “Eh, kenalin.. aku Rasta. Temen kecil Ravy. Kita sama-sama ikut karate dan dulu julukan kita R2, soalnya kemana-mana selalu bareng...” Rasta merangkul Ravy. Lagi-lagi Bima merasa terganggu dengan sikapnya itu.

            “Ras, ini Bima.. Ehm.. bisa dibilang kita bareng sejak SMA, dan sekarang juga satu kampus. Walaupun beda jurusan, sih..” Ravy mencoba meredam kemarahan Bima dan mengenalkan Rasta padanya. Bima hanya memandang Rasta. Entah kenapa walaupun wajah Rasta terlihat bersahabat, Bima merasa ada hal yang mengusiknya dari senyum itu. Dia merasa aneh. Wajah ceria itu seperti sedang mengancam dan mengajaknya berperang.

            “Kalian kuliah di kampus yang sama, kan? Berarti kalian bakalan jadi juniorku mulai sekarang..!” Rasta tersenyum lebar. Ravy menoleh ke arahnya dengan wajah bingung. Lalu perlahan dia tersenyum. “Kita satu kampus sekarang...!” Rasta mencubit ujung hidung Ravy dan sukses membuat tangan Bima mengepal. Cemburu! Hatinya panas seketika. Apalagi saat melihat Ravy bukannya marah seperti reaksinya saat Bima mencubit hidungnya, tapi kali ini reaksi Ravy malah terkekeh riang.

            “Masuk, yuk..! Kita ngobrol di dalam...!” Ravy menarik tangan Rasta. Rasta mengangguk senang dan mengikuti Ravy. Saat Rasta melewati Bima, dia hanya tersenyum. Senyum yang membuat Bima muak.

            Mereka masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bima yang sedang terpaku di halaman dengan hati dongkol dan penuh dengan amarah. Bima menghentakkan kakinya kesal dan menyusul Ravy masuk ke dalam. Di dalam sana, Rasta sedang asyik bercanda dengan keluarga Ravy dan keluarganya. Rupanya sifat cerianya itu membuat orang lain merasa senang dengannya, sedangkan Bima menganggap dia sedang mencari muka!

            “Kamu kenapa, sih dari tadi kusut melulu?” Ravy bertanya pelan pada Bima saat dia sedang berada di dapur. Bima yang sedang meneguk air dari gelasnya langsung menoleh ke arah Ravy.

            “Aku nggak kusut..!”

            “Aku hafal sifat kamu lebih dari siapapun, Bima..!”

            “Kalau gitu harusnya kamu tahu wajahku kusut kenapa..!”

            “Apa karena soal urusan kampus?” Ravy menduga-duga seenaknya. Bima memandang wajah Ravy dengan pandangan kesal dan protes. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain lalu terdiam. Kesal!

            “Apa Cuma itu yang ada dalam pikiran kamu?”

            “Hm? Iya, emang apa lagi? Aku pikir kamu juga masih kusut karena terlalu lama di perjalanan...!” Ravy angkat bahu, lalu melangkah cuek melewati Bima. Bima semakin kesal melihat Ravy. Dalam sekejap dia melangkah menyusul Ravy dan menarik pergelangan tangannya sampai Ravy hampir terjungkal ke belakang.

            “Ish, apaan, sih?” Ravy menoleh ke arah Bima. Bima memalingkan wajahnya, dan hal itu sukses membuat Ravy semakin kesal karena tak mengerti apa yang dia pikirkan.

            “Kamu kayaknya akrab banget sama cowok itu...” suara Bima terdengar lirih. Dia memang protektif dan sensitif terhadap semua hal yang menyangkut Ravy, tapi entah kenapa kali ini dia tidak bisa melarang dan marah. Dulu dia masih marah pada cowok gila yang menginginkan Ravy, tapi entah kenapa kali ini dia seolah hanya bisa terdiam dan pasrah atas apa yang telah Rasta dan Ravy lakukan.

            “Tentu aja, temen lama ketemu lagi setelah bertahun-tahun pisah..! Ya seneng, lah!” Ravy mengangguk-angguk. Bima menghembuskan nafas kesal.

            “Kayaknya dia juga seneng...”

            “Eh? Ya tentu aja dia seneng..! Eh, tunggu... kenapa arah pembicaraan kita jadi ke situ?”

            “Dari awal emang ke sana, kan? Kamu aja yang nggak ngerti-ngerti..!” kali ini wajah Bima mulai manyun. Ravy berdecih.

            “Dia beda sama kita! Emang sikapnya kayak gitu ke aku, tapi nggak semua cowok yang deket aku juga sama kayak kita!” Ravy berteriak kencang. Bima gelagapan dan langsung membungkam mulut Ravy. Ravy langsung menggigit tangannya dan hal itu berhasil membuat Bima meringis kesakitan.

            “Tapi perlakuan dia beda banget ke kamu...” Bima menampakkan wajah cemberutnya lagi. Ravy menatapnya lalu terkekeh geli.

            “Kamu cemburu?”

            “Lebih dari cemburu! Aku marah, kesal, benci!!”

            “Aku Cuma anggap dia sahabat dan temen masa kecil aja!”

            “Lalu dia anggap kamu apa?” Bima mendekat. Ravy menatap Bima kesal.

            “Dia masih normal. Dulu dia nembak cewek waktu kita masih kecil!”

            “Itu Cuma cinta monyet!” wajah Bima kembali kusut. Ravy menghembuskan nafasnya kesal. Perlahan dia mengusap-usap kepala Bima. Bima mendongakkan wajahnya, lalu tersenyum. “Kamu mulai nyentuh aku, itu artinya aku juga nggak apa?”

            “Idih..! Satu bulan!!” Ravy melepaskan tangannya. Bima mendengus kesal lalu melirik jahil Ravy. Saat Ravy berbalik, Bima langsung melangkah cepat ke arahnya. Bima memeluk Ravy dari belakang dan menenggelamkan kepalanya di perpotongan leher dan bahu Ravy.

            “Jangan protes..! Please.. sekali aja...! Aku bener-bener kangen Ravy-ku..”

            “Bima, ih..! Lepas! Kalo ada yang lihat gimana?!” Ravy meronta. Bima terus memeluk Ravy, bahkan semakin mengeratkan pelukannya. Ravy memberontak, sampai sepasang kaki memasuki dapur. Dan tentu saja, itu adalah kaki milik Rasta.

            “Rav, aku... eh? Kalian ngapain?” entah kenapa suara Rasta tercekat kaget. Rasta bengong di tempatnya. Ravy melepas pelukan Bima dan langsung menarik tangan Rasta pergi dari tempat itu. Rasta masih bingung, namun menurut saja saat Ravy menarik tangannya menjauh. Sementara itu, Bima menatap kepergian mereka dengan hati sakit. Ini masih hari pertama! Bagaimana dia sanggup menghadapi ini semua dalam waktu satu bulan?!!

            Kali ini Bima hanya bisa mengacak rambutnya gusar dan langsung kembali ke kamarnya. Kamar yang akan dia tempati bersama Ravy nanti...

TBC

When? (RnB Series Season 2) - BXBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang