HAPPY READING 💜
✨
Besoknya Teresha keluar dengan pakaian rapi. Ia sudah bersiap sejak subuh tadi, setelah memastikan kedua orang tuanya sudah pergi bekerja, baru lah Teresha keluar dari kamar. Rok pendek selutut menjadi bawahannya dan di pasangkan sebuah hoodie berwarna hitam kebesaran. Rambutnya panjangnya di ikat rapi dan di tutupi tudung hoodie.
Remini menunggunya di muka pintu kamar.
“Bibi?”
“Aman kok. Bibi lagi ngobrol sama tukang kebun di belakang,” jawab Remini. Dia memang bisa Teresha andalkan. “Ini alamat sekolah, Non.”
Teresha mengambil selembar kertas tersebut. Memandang Remini lama lalu memeluk ladies duanya itu. “Selain Bibi, kamu juga ngertiin aku.”
Gadis muda itu tersenyum, membalas pelukan. Seandainya Teresha ingat, kenangan mereka juga ada. Untuk masalah kabur-kaburan itu sudah tugas Remini memperlancar jalannya.
“Non harus ingat, penjaga nggak akan ada kalau Ibu juga nggak ada. Di depan cuman ada satpam doang tapi lagi sarapan. Non bisa keluar tanpa di lihat,” ujar Remini.
Teresha menepuk pundak Remini lalu berlari pergi. Bagaimana pun ia harus segera sampai di sekolahnya. Mencari dua orang yang berada satu foto bersamanya. Kemungkinan untuk perempuannya, Teresha bisa menemukannya tapi tidak dengan laki-laki itu.
Hendak melangkahkan kaki, Remini menepuk jidatnya. Teresha pasti akan kebingungan mencari kendaraan untuk ke sekolah. Mencarikan Teresha taksi online seharusnya bisa menjadi ide lebih baik.
Waktu berjalan 15 menit setelah keberhasilannya keluar dari pekarangan rumah. Teresha terus melangkahkan kakinya tanpa lelah. Tidak ada waktu untuk lelah, ia harus bergerak cepat agar kembali ke rumah dengan cepat pula. Remini memberikan ponselnya agar ia dapat di hubungi.
“Tante!” Teresha mengejar seorang Ibu yang baru turun angkot.
“Iya, ada apa ya?”
Lembar kertas itu ia serahkan kepada Ibu itu. “Saya mau ke sekolah ini. Arah saya jalan udah benar apa salah ya?”
“Ooh SMA Tridharma... Udah bener arahnya,” ujar Ibu tersebut. “Eh kamu naik angkot aja, kebetulan angkotnya mengarah ke SMA itu.”
Teresha segera naik ke dalam angkot setelah berterima kasih. Akhirnya ia bisa sampai tanpa berjalan kaki lagi. Senyum senangnya tiba-tiba luntur saat bau-bau yang bercampur di angkot itu membuatnya merasa mual.
Di dalam angkot itu ada beberapa orang yang memenuhi. Masih pagi tapi hawa di dalamnya panas membuat gerah. Teresha menutup hidungnya, menahan rasa mualnya sekuat tenaga. Belum sampai ke tujuan Teresha sudah minta turun, menyerahkan uang seratus ribu kepada supir dan berlari beberapa meter.
Dia muntah di belakang pohon yang jauh dari jalan.
“Mami!! Bau banget.” Teresha kembali muntah.
Jika di tanya masih sanggup atau tidak ke sekolah itu, Teresha akan menjawab ‘sanggup’ tapi tidak sanggup naik angkot lagi. Keringatnya bercucuran karena gerah, akhirnya menjatuhkan tudung hoodienya, membiarkan sedikit angin menghilangkan gerahnya.
Ponselnya berdering. Teresha berjongkok, berbicara pada penelpon yang ia yakini Remini.“Non udah sampe mana?” Remini berbisik-bisik.
“Masih di jalan. Tadi aku naik angkot tapi nggak kuat, bau banget! Jadi muntah deh.” Teresha mengusap keringatnya.
Remini terdengar menahan tawa. “Non emang nggak bisa naik angkot, Non pernah bilang nggak level.”
“Putri cantik memang di takdirkan jalan kaki kayaknya,” ujarnya membuat Remini tertawa pelan lagi.