HAPPY READING 💜
✨
Kemunculan Teresha membuat sekolah gempar, tidak hanya di kalangan murid saja tapi telah sampai di telinga para guru. Setelah kecelakaan hampir tiga bulan lalu yang membuat banyak orang berpikir Teresha tidak selamat, nyatanya Teresha datang dengan beberapa luka yang terlihat. Teresha selamat.
Aubrey jengkel sebab dirinya selalu di singkirkan dengan badan-badan mereka yang ingin melihat Teresha langsung. Padahal kebanyakan dari mereka tidak suka pada Teresha, kemungkinan hanya kepo saja. Aubrey menembus secara brutal, menarik Teresha pergi dari kerumunan orang-orang mendadak baik.
Mereka bersembunyi di belakang sekolah, duduk di taman kecil. Penampilan keduanya awut-awutan karena tadi berdesak-desakan di kerumunan.
“Lo ngapain sih senyumin mereka? Kering nanti gigi lo!” sembur Aubrey sembari memperbaiki tatanan rambutnya. 15 jutanya melayang di tangan Giska, separuhnya lagi di tangan murid-murid.
“Apa salahnya sih senyum?” Teresha duduk tegap, meluruskan kakinya ke bawah. Di lututnya ada luka yang tadinya sudah kering, kembali berdarah.
Aubrey menoleh. “Helow! Lo tuh orangnya sombong, Tere... Senyum aja tuh susah!”
“Beneran?” Nada Teresha seperti tidak percaya.
Aubrey mengangguk. “Teresha itu... Cuek, ngambekan, suka marah-marah nggak jelas, bego matematika, dan suka hambur-hamburin uang,” ujarnya. Ia masih dalam kalutan emosi karena masalah rambutnya. Ada dua hal yang perlu Aubrey jaga, harga diri dan rambut.
Perkataan Aubrey membuat Teresha terdiam seribu kata. Aubrey mendengus. “Udah lama gue pengen ngomong kaya gitu di depan muka lo, tapi gue takut kena tonjok.”
Sepertinya yang Aubrey katakan berbanding terbalik dengan Valen. “Tapi Mami bilang aku jago dalam segala hal termasuk matematika.”
“Tante Valen nggak mungkin tega ngatain lo goblok,” jawab Aubrey, ketus.
“Percaya aja sama omongan gue ini, bukan syirik. Aubrey ini nih, temen lo sejak SD kelas 3. Tentang Mami lo aja gue tau.”
Teresha merasa akan di bantu oleh orang yang tepat, hari ini ia akan mempercayakan semua pada Aubrey. Aubrey yang akan membantunya mengingat semua yang sudah ia lupakan.
Teresha tersiksa menjadi orang bingung yang tidak tahu apa-apa. Ia kebanyakan melongo, hanya menyimak pembicaraan karena tidak tahu akar permasalahannya.
Melihat wajah sendu Teresha, Aubrey menepuk pundaknya dengan yakin. “Semua ingatan yang hilang itu berharga, gue akan bantuin lo ingat semua itu.”
“Makasih.”
Aubrey menghembuskan napas panjang. “Agak aneh ngelihat lo kaya gini. Apalagi aku-kamu ke gue. Iw!” Teresha tertawa renyah.
“Kenapa lo ke sini nggak pake seragam?” tanya Aubrey.
“Bibi bilang seragam yang ada di lemari itu seragam sekolah lain. Nggak mungkin aku pake itu datang ke sini.”
“Lah aneh. Lo punya banyak asisten, tanya aja siapa yang kataraknya berlebihan sampe masukin seragam lain ke lemari lo, abis itu pecat orangnya,” ujar Aubrey.
“Papi. Papi mau pindahin aku ke sekolah lain katanya. Semalam Papi Mami berdebat, nggak tau aku jadi di pindahin atau enggak,” ujar Teresha, lirih.
“Terus, lo bisa sampe ke sini gimana bisa?” tanya Aubrey.
“Di bantuin Remini, asisten aku. Setelah temuin kamu, harusnya aku udah segera balik rumah,” jawab Teresha.
Aubrey mengangguk pelan. “Oh si ladies lo itu gue kenal. Tapi tunggu, berarti lo kabur dari rumah buat ke sini cari gue?” Teresha memberi anggukan.