Ch. 3

398 61 21
                                    

"Yeonwoo ucap terima kasih"

"Terima kasih Om Nunu..." Anak empat tahun dua bulan itu tersenyum, menunduk dalam bungkuk sembilan puluh derajat.

Saat Eric pamit untuk masuk ke dalam apartement kumuhnya kembali. Batas terlihat jelas Sunwoo tidak di undang masuk dan disuruh pergi.

Maka saat mendapat anggukan kepala Sunwoo sekali, Eric menuntun Yeonwoo kedalam. Menutup pintu dan meninggalkan anak Kim itu sendirian. Eric sudah cukup kasihan, kalau ada Sunwoo beban yang Eric emban akan semakin berat.

Sakit itu masih terasa, bagian perut bawah seperti di aduk aduk menggunakan alat masak. Mual dan sebagainya, Eric terduduk daat pintu tertutup. Yeonwoo tidak meninggalkannya ada disitu, saat setitik tangis Eric jatuh, erat memeluk Yeonwoo tanpa si kecil mau tau.

Sunwoo—

Percayalah masih ada di balik pintu, dengan bingung.

Hal yang sederhana dilakukan Eric kembali untuk mengawali pagi, membangunkan Yeonwoo dan mengajak si kecil itu mandi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hal yang sederhana dilakukan Eric kembali untuk mengawali pagi, membangunkan Yeonwoo dan mengajak si kecil itu mandi. Tidak ada kurang yang dilakukan Eric sebagai orang tua tunggal, semua terkucupi walau harus kerja banting tulang dengan pekerjaan sebagai pelayan.

Kejadian kemarin membuat Eric tercengang, Masih. Membekas cukup dalam dengan iringan pemecatan yang dikirim lewat pesan pada telpon gengam.

Hari yang akan datang seperti lembar baru, Eric berharap saat ketika ia berdoa akan di ijabah oleh sang penguasa pemilik semesta alam.

"Aamiin pwapi..."

Yeonwoo tersenyum manis, apa tidak hati Eric rasanya makin meringis.

"Terimakasih sayang"

Kening ke kening, Eric lumayan tenang. Sebelum mengikat tali sepatu Yeonwoo untuk mengantar anak kecil itu ke penitipan. Setidaknya sampai langkah ke tiga ketika Eric balik badan selesai menutup pintu rumah.

Seseorang berdiri dengan jarak beberapa meter darinya, bergaya seperti Don Juan yang merupakan tokoh fiksi terkenal sebagai sebutan untuk laki-laki penakluk wanita di Spanyol serta Italia. Berpakaian rapi dari atas kepala sampai ujung kaki, berkelas sekali layaknya seorang kapitalis sejati.

"Eric..." cukup sekali Sunwoo memanggil.

Dan Eric merasa tungkai kakinya tidak mempunyai ligamen sendi untuk menahan ia berdiri dihadapan si takdir yang datang secara tiba-tiba pada pagi hari.

Eric mencoba untuk tidak melihat Sunwoo. Secara sengaja melewati si kolot Kim dengan cepat berlalu.

"Eric..."

Panggilan berulang seperti kaset rusak di rongsokan, telinga Eric begitu pengang. Eric dengar, telinganya tidak dalam kesakitan tapi Sohn kecil tidak punya tenaga untuk menjawab apa yang Sunwoo inginkan.

Eric masih bodoh perihal cinta, tidak mau jatuh untuk kali kedua pada orang yang sama. Tapi, hati Eric mengatakan hal yang lain. Berdebar sekencang mungkin atau karena ini sebuah hormon oksitosin.

Dihantui oleh Sunwoo lagi dan lagi, Eric tidak akan bisa pergi. Harapan cinta yang dulu masih tersanya sangat ngilu.

Meskipun Sunwoo sudah bersimpuh pada lantai kotor yang penuh kelopak bunga berjatuhan karena musim sedang semi di Korea Selatan, Eric tidak tergerak untuk kedepan— mendekat ke arah Sunwoo dan membersihkan si anak Kim yang terlihat kesakitan.

"Pagi, siang hingga malam hari, diriku berpikir tentang. Menjadi begitu menyedihkan dan konyol. Apa yang harus ku lakukan, Eric? Waktuku tinggal sebentar" Sunwoo menarik nafas yang panjang. Dengung terdengar dari telinga Eric yang kebingungan.

"Waktu terbuang begitu banyak— Napoli kenangan yang indah untuk sekedar diingat tapi layak untuk di ulang. Cahaya bulan begitu indah diluar rumah, Aku hanya tidak bisa pergi. Biarkan aku berbaring di sisismu untuk beberapa saat— Sesaat, hanya sesaat Eric..." Sunwoo selesai, sakitnya Eric sampai tulang yang begitu sakit tak bisa tertahankan.

Yeonwoo ketakutan menciut di belakang Eric. Sunwoo mulai terisak, "Aku bahkan menyalahkan bulan karena selalu bersembunyi di balik awan beranggapan itulah alasan kamu tidak pulang. Aku tidak bisa tidur selayaknya, Apakah kata 'cinta' terlalu banyak untuk kamu dengar? Untuk aku meletakkannya di bibir yang tidak pantas" Sunwoo terisak, Eric tidak mengambil langkah sedikitpun mendekat.

"Eric, aku meminta maaf. Aku berjalan menuju neraka dengan kakiku— tarik aku keluar lagi..."

Isak itu begitu perih, Sunwoo ambruk merangkak dengan mata sembab ke kaki Eric. Mengulang kata maaf yang begitu lara terdengar di hati.

Eric menarik Yeonwoo ke sisi, mengangkat anak kecil itu kedalam dekap hangat. Berlari sejauh mungkin dari air mata buaya yang sudah meluluh-lantahkan rasa percaya Eric yang begitu berharga dahulu kala. Sudah di bilang Eric tidak mau jatuh untuk kali kedua. Tapi, nasi sudah menjadi bubur menurut peribahasa yang berarti perbuatan yang telah terlanjur. Kaki Eric berat melangkah saat hendak turun tangga ke lantai bawah.

Sunwoo tidak mengejar, isaknya masih ada.

Dan Yeonwoo melihatnya— mengusap pipi Eric yang entah kenapa bisa juga ikut basah.

"Pwapi nggak papa?" Pertanyaan polos Yeonwoo membuat keputusan gila Eric kembali ada.

Langkah berat dilangkahkan pada Sunwoo, Eric berlutut membawa Yeonwoo turun. Tangan Kim kolot yang gemetar terangkat membawa sang anak mendekat.

Yeonwoo di peluk begitu rapat, tanpa sekat. Tega sekali Eric membuat laki-laki paling jantan di muka bumi menangis sesenggukan.

"Maaf..." Sunwoo mengucap ampunan dan Eric mengangguk paham walau hati meringis tak karu-karuan.

Una Notte A NapoliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang