Jay memasuki gereja setelah cukup lama ia mencari dengan kondisi luka ditubuhnya yang kian terasa sakit. Gerejanya kosong, namun samar-samar ia bisa mendengarkan suara tangisan. Pikirnya mungkin ia sedang berdoa sambil memohon ampun.
Langkahnya terseok-seok. Bahkan ia hampir jatuh sesekali. Beban dan dosa yang ia tanggung seperti menjadi berat, layaknya ia dijatuhi berton-ton karung besar. Hatinya tak karuan.
Tuhan.... ampuni aku.
Kini, ia berdiri dibarisan paling depan. Tangannya mengepal kuat dan setetes demi tetes air mata keluar dari matanya.
"Tuhan, ini aku Jay. Hambamu yang tak tau diri, ampuni aku, mohon ampunilah aku." Kepalanya terduduk lemas, isakan kecil mulai terdengar.
Jay semakin menunduk, sesekali ia memohon ampun, sesekali juga isakannya semakin keras. Beberapa patah kata ia ucapkan, beberapa karung beras rasanya ditimpakkan pada punggungnya.
Deg
Ada Jay disini?, dengan pikiran yang semakin kalut dan matanya yang tak henti mengeluarkan air mata. Jake memutar tubuhnya, ia mendapati Jay disana, sedang terduduk dengan posisi yang menyedihkan, kepalanya menunduk dan tangannya yang saling bertaut.
"Ya Tuhan, kamu kenapa, Jay?" lirihnya seketika.
Dengan langkah yang pelan, ia menghampiri Jay, Harap-harap ini bukanlah keputusan yang salah. Ia hanya ingin membantu, membantu teman itu bukanlah hal yang salah, kan?
Meski rasa dihatinya semakin menggebu melihat laki-laki yang ia kasihi dengan teramat dalam terduduk lemah.
Tangan Jake menggapai pundak Jay dengan pelan.
"Jay!"
Itu Jake, yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Yang sedari tadi ia gumamkan pada Tuhan, yang sedari tadi menjadi objek dari segala risau dah resahnya, yang sedari tadi menjadi tombak dari hal-hal yang terjadi padanya hari ini, namun Jay tak menyalahkan Jake. Ini bukan salah Jake, ini mungkin skenario dari Tuhan agar Jay bisa paham akan perasaannya.
Ingin rasanya ia berikan senyuman terbaiknya pada Jake, namun alih-alin tersenyum, ia meringis pelan karena luka dibibirnya.
"Kamu kenapa nangis...?"
Alih-alih mendengarkan pertanyaan dari Jake, Jay malah tediam sambil menatap wajah yang ia rindukan selama ini.
Jake menatap khawatir Jay, dengan luka dibeberapa bagian wajahnya juga pipi yang memerah. Siapapun tak akan tahan dengan luka seperti itu. Tatapannya begitu sarat akan rasa khawatir, sesekali bibirnya meringis ngilu melihat luka disekujur tubuhnya.
Dengan tangan yang menggapai pelan, ditariknya Jake ke pelukan Jay hingga membuat Jake tersentak kaget.
"Kamu ngapain?"
"Jake, aku mau minta maaf, maaf karena aku udah suka sama kamu," bisiknya pelan, namun masih bisa terdengar oleh telinga Jake.
Lama Jake berdiam diri, hanya membiarkan Jay yang semakin erat memeluknya, ia kemudian menangis mendengar penuturan Jay. Perasaannya, perasaannya terbalas.
"Jay... aku juga mau minta maaf, aku udah lancang suka kamu." Jake membalas pelukan Jay dengan erat.
Didalam gereja, mereka saling memohon ampun pada Yang Maha Kuasa dan pada masing-masing dari mereka.
Mohon ampun karena memilih untuk berdosa, mohon ampun karena memilih untuk membiarkan perasaan yang dulu diinjak paksa agar tetap tumbuh. Mohon ampun karena mereka berdua memilih untuk saling mencintai, meski dengan meninggalkan dua calon tulang rusuk mereka nanti.
Dan juga mereka berharap dan memohon pada Tuhan, bilamana nanti mereka mati dan mendapatkan reinkarnasi, Tuhan mau berbaik hati mempertemukan kembali mereka sebagai pasangan kekasih yang semestinya, sebagai laki-laki dan perempuan.
Gereja menjadi saksi bisu kisah mereka. Kisah yang mungkin akan selalu menyakitkan meskipun itu sebuah akhir bahagia.
•••
Jake membawa Jay kerumahnya yang hanya berjarak ratusan meter dari gereja. Rasanya sulit dengan kondisi tubuh Jay yang terluka disana-sini. Namun ia berusaha keras agar bisa mengobati Jay.
"Kamu duduk dulu ya disini. Aku ngambil kotak P3K buat ngobatin beberapa luka kamu."
Jay duduk dengan tangan yang memegangi perutnya, ternyata pukulan Sunghoon bukan main. Awalnya biasa, namun sakitnya kian mendera.
"Jake..."
Ia memanggil Jake lirih, tatapannya sayu seakan berkata jangan pergi pada Jake.
"Apa lagi?"
"Ngga, bukan apa-apa."
"Oke."
Setelah Jake pergi, Jay melihat sekeliling isi rumah Jake. Nyaman. Satu kata yang bisa ia deskripsikan untuk rumah Jake, tak terlalu besar juga tak terlalu kecil. Pas. Bahkan segala dekorasi dan pernak-pernik dirumah Jake semakin membuat rumah ini terlihat nyaman untuk ditinggali. Ia melihat beberapa potret diri milik Jake juga seorang perempuan anggun dan cantik yang ia yakini adalah bundanya Jake.
"Maaf kelamaan, aku nyari dulu alkohol soalnya ternyata ga ada dikotak P3K."
Jay menggelengkan kepalanya tanda tak apa. Ia kembali melihat apa yang Jake lakukan, dimulai dari membuka kotak P3K sampai dengan kapas yang diberi alkohol.
Tangannya terulur pelan untuk mengobati sudut bibir Jay yang mengeluarkan sedikit darah, dengan canggung ia usap perlahan namun sesekali ringisan keluar dari bibirnya.
Lucu, bisa-bisanya Jake yang meringis sakit padahal Jay yang terluka.
"Kamu lucu, Jake."
Semburat merah muncul di pipi Jake, matanya bergulir kesana-kemari untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Diem, Jay. Atau aku ga mau obatin kamu." Dengan susah payah ia memperingati Jay, namun yang ia dapati malah hal yang membuat banyak kupu-kupu berterbangan diperutnya.
"Aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku mencintai kamu, Jake. Biar dosa maupun tercela, aku tetap mencintai kamu."
Jingga mewarnai sore hari itu. Jay dan Jake memilih untuk selalu bersama, seperti yang dikatakan Jay, biar dosa maupun tercela.
-tamat-
KAMU SEDANG MEMBACA
Amin Paling Serius [JayKe]
Historia CortaAlih-alih mencintai ia yang seharusnya menjadi tulang rusukku, aku malah mencintai ia yang sama-sama punya tulang rusuk. not safe for homophobic.