"Ganteng, dokter spesialis, udah punya rumah sendiri, kalem, dan berwibawa. Yakin nggak mau jadiin dia mantu Mama, Na?"
-Mama Tika______________________________________
"Yana! Bangun kamu! Jangan molor terus! Udah jam sepuluh ini."Ayana berdecak kesal saat mendengar teriakan sang Mama. Bukannya bangun, ia malah menutup kedua telinganya menggunakan bantal, agar tidurnya tidak diusik lebih jauh lagi.
"Astaga, punya anak gadis satu pemalasnya minta ampun. Di luar sana ada nggak sih jasa yang bisa tukar tambah ganti anak, kalau ada Mama pengen banget ganti anak aja deh. Bosen tahu Mama lihat kelakuan kamu tiap hari begini," gerutu Kartika sambil membuka gorden kamar Ayana, "pulang tengah malem lah, pulang pagi lah. Duh, capek Mama lihatnya, Na."
"Tuh, lihat anaknya Ibu Mayang, berangkat pagi, pulang sore tahu-tahu dilamar. Nggak pernah bawa cowok ke rumah padahal, nggak pernah juga pulang malem. Beda banget sama kamu, bawa pulang cowok terus tapi nggak pernah ada yang ngelamar. Kamu itu sebenernya bisa nggak sih cari pacar? Kalau nggak bisa bilang, Na, biar dicariin sama Papa-mu atau nggak Abangmu. Atau kalau perlu Mama sendiri yang turun tangan buat cariin kamu suami?"
Kesal tidak dihiraukan, Kartika langsung memukul pantat Ayana dengan keras. Dan tentu saja hal ini sukses membuat perempuan itu menjerit kesakitan.
"Mama, iiih, nggak bisa banget lihat anaknya istirahat apa gimana sih? Sakit tau!" protes Ayana kesal.
Emosinya sampai di ubun-ubun. Semalam IGD penuh, alhasil susah untuknya mencuri waktu tidur dan sekarang kesempatan yang bagus untuknya beristirahat, tapi dengan seenaknya sang Mama malah mengacaukan jam istirahatnya. Sungguh menyebalkan.
"Udah siang, Na, bangun! Kamu nggak capek apa tidur terus?" omel Kartika sambil memukul pantat putri bungsunya sekali lagi.
"Astagfirullah, Ma, aku baru aja tidur tadi jam setengah delapan, kan aku abis jaga malam, wajar dong kalau aku bangunnya ntaran. Yang nggak wajar itu kalau Mama udah bangunin aku."
"Kalau kelakuan kamu begini terus-terusan gimana kamu bisa kasih Mama mantu dan juga cucu?" Kartika mendesah lalu duduk di tepi ranjang Ayana, "kamu tadi dengerin Mama ngomong nggak sih?"
"Yang mana?" Ayana masih terlihat mengantuk dan seperti bersiap kembali masuk ke dalam mimpi, namun, gagal karena Kartika kembali menepuknya.
"Astaga, punya anak gadis kerjaannya kalau di rumah kalau nggak makan ya tidur doang, jangan tidur dulu, Na!" omel Kartika, "itu loh, tadi Mama cerita kalau anaknya Ibu Mayang udah dilamar. Kamu kapan sih dilamar?"
Ayana mengucek kedua matanya yang masih mengantuk sambil mengingat siapa itu Ibu Mayang yang Mama-nya maksud. "Yang mana orangnya sih, Ma?" tanyanya menyerah saat ia tidak berhasil mengingat.
"Itu loh, yang rumahnya paling ujung, deket rumah Pak RT, Na."
Ayana ber'oh'ria sambil mengangguk paham, saat bayangan yang Mama-nya maksud sudah terbayang di otaknya.
"Pras? Maksud Mama?"
"Mama bilang dilamar, Na, bukan ngelamar. Ya kali Pras dilamar? Kamu ini ada-ada aja," omel Kartika sambil menepuk paha Ayana, "lagian Pras kan udah nikah akhir tahun kemarin, Na, bahkan anaknya udah lahir. Kan kemarin kita udah dapet gulai kambingnya, itu loh yang kamu makan kemarin masa lupa."
Ayana menghitung jarinya secara reflek, menghitung usia pernikahan mereka. "Lah, nikah akhir tahun kemarin tapi ini udah lahir? Lahir prematur apa gimana, Ma?"
"Normal. Ya, denger-denger emang pas resepsi kemarin udah hamil 3 bulan. Tahu sendiri kan kemarin nikahnya mendadak, tahu-tahu lamaran, tahu-tahu nikah, terus tahu-tahu anaknya lahir. Kita bantu doa aja, Na, biar nanti nggak tahu-tahu cerai aja."