4 - Nothing On Me

74 20 24
                                    

Seandainya aku tidak datang ke kantor Saturn Entertainment hari itu, wajahku tidak akan terpampang di mana-mana. Kini aku seperti idol dadakan yang dibicarakan banyak orang. Tidak hanya di internet, tetapi keberadaanku sebagai mantan narapidana sudah banyak diberitakan di televisi dan radio. Para wartawan berhasil mendapat keterangan dari Rutan Dongbu yang menyatakan bahwa Ahn Sehun benar-benar sudah bebas.

Aku bebas, tetapi tidak bisa merdeka dari gunjingan orang lain. Dulu, ketika aku masuk penjara, aku sama sekali tidak terganggu dengan pendapat mereka. Sekarang berbeda. Aku kembali menjalani hidup di tengah masyarakat, yang artinya aku harus siap mendengar hinaan mereka kapan saja. Jika yang mereka serang hanya aku, tidak masalah. Masalahnya, mereka menyerang kakakku lagi.

"Maaf," kataku ketika kami sarapan di meja makan selebar dua meter. Hanya ada dua kursi kayu berseberangan. Aku menatap kakak yang tengah mengunyah telur gulung, seolah tidak terpengaruh oleh permintaan maafku.

"Aku bosan mendengarnya," kata kakak, lalu menyumpit suiran ikan dan meletakkannya ke atas mangkukku. "Aku tidak apa-apa, Sehun. Sungguh."

"Kau tidak bisa bekerja karena aku." Aku menyumpit nasi dan ikan ke mulut lalu mengunyahnya pelan. "Kau harus menutup toko dan tidak bisa pergi ke mana-mana karena didatangi banyak orang."

"Ini bukan hal baru." Kakak benar-benar terlihat biasa saja menghadapi semua serangan ini. "Tujuh tahun lalu juga seperti ini. Kau harus terbiasa," pesannya.

Aku menghela napas. Kubuka sedikit tirai jendela di dekatku. Kerumunan wartawan belum bosan mengepung rumahku sejak tiga hari lalu. Polisi sudah datang mengusir karena ada banyak tetangga mengeluhkan keberadaan mereka, tetapi mereka selalu datang setiap ada kesempatan. Kejadian ini membuat aktivitas kami berdua lumpuh. Aku dan kakak terkurung di rumah kami sendiri.

"Apa rencanamu setelah ini?" tanya kakak. Berdiri membawa mangkuk kosong ke wastafel. Tubuhnya sudah tidak sekurus beberapa hari lalu sebelum aku pulang. Pipinya mulai terlihat lebih tembam dan tulang selangkanya tidak terlihat menonjol. Aku tersenyum tipis menyadari kepulanganku membuat kakak lebih bahagia.

"Aku ingin bermusik lagi," jawabku, jujur. Sebab, memang hanya itu yang kutahu selama hidupku. Aku bercita-cita menjadi idol sejak kecil. Mengorbankan masa remajaku dengan menjalani pelatihan. Bahkan ketika aku dipenjara pun, aku tidak bisa melupakan impianku. "Satu-satunya keinginanku adalah menjadi idol," kataku.

"Itu sangat berisiko."

Ada peringatan di balik kalimat itu. Kakak seperti sedang mengingatkanku pada statusku saat ini. Bukan warga sipil biasa, melainkan mantan narapidana. Fakta itu tiba-tiba membuat tubuhku merinding dan kedua tanganku refleks mengepal kuat.

"Kau bisa bekerja di kedai dan –"

"Aku ingin menjadi idol!" selaku. Kurasakan rahangku berubah kaku dan perlahan napasku memburu. "Aku hanya tahu caranya bernyanyi dan menari. Jika bukan menjadi idol, apa lagi yang bisa kulakukan?"

Kakak mengembuskan napas dengan kasar. Ia masih membelakangiku. "Kau pikir semudah itu menjadi idol? Lihat keadaanmu sekarang. Kau dipenjara karena berusaha mewujudkan impianmu! Tidak kapok?"

Aku terdiam. Kakak tidak pernah mengomel. Ini adalah kali pertama kakak mengomeli keinginanku. Semalam ini kakak mendukungku, lalu kenapa tiba-tiba dia sangat menentang impian yang kupuja-puja itu? Sebelum aku mencari balasan untuk menyerang kakak, aku merasakan tangan-tangan dingin berusaha membungkus tubuhku. Rasanya seperti ketika aku masuk ke wahana rumah hantu.

Usahaku menjadi idol tidak membawaku ke panggung konser. Impian menjebloskanku ke penjara. Sekarang aku paham apa yang membuat kakak berbalik melarangku menjadi idol. Ia takut aku mengalami hal yang sama. Aku pun begitu. Takut hal sama terulang kembali dan aku akan masuk penjara lagi.

OVERHOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang