***
Gemuruh angin menyeru memekakkan telinga. Ratusan—bahkan ribuan orang luluh-lantah mencari tempat perlindungan. Mereka saling berteriak, mendorong, berdoa dengan suara yang lantang; memohon untuk pertolongan. Beberapa diantaranya justru meracau, menyebutkan kata-kata kasar karena rasa panik yang ada.
Kekacauan yang terjadi dalam sepersekian detik itu diawali dengan pijakan yang terasa bergetar. Orang-orang yang berada dalam stadion besar itu awalnya kebingungan. Sesaat kemudian, tiang-tiang penyangga roboh begitu saja, semua penerangan mendadak mati.
Tidak ada yang peduli terhadap sekitar. Semuanya berlari tak tentu arah—ke mana pun, asal selamat. Sialnya, sebagian orang yang tidak beruntung harus terluka; mereka terhimpit, terjatuh, terinjak-injak, dan mengalami serangan kecemasan berlebih, berujung sesak napas.
"Gue harus kemana?!?!!!" Pemuda yang memiliki postur tinggi itu berteriak, namun tak ada satupun yang menghiraukannya.
Kedelapan artis yang tengah tampil itu kini turun secara tergesa-gesa, menyadari akan terjadi kecelakaan besar dengan kemungkinan terburuk; kematian. Di tempat di mana seharusnya mereka diutamakan, para staf justru berdesakan ke arah pintu darurat—yang tak tahu kenapa sulit dibuka saat itu.
"Manager-nim!" seru Chan, sekuatnya.
"Manager-nim, kita harus pergi ke mana?!" Ia meneruskan, tatapannya lurus memandang laki-laki dengan jas hitam yang ikut berkerumun memperebutkan posisi paling depan agar dapat cepat menyelamatkan diri.
Dia sama sekali tak mendengar, sama sekali tak peduli.
Lantai terus bergetar, seluruh ruangan dipenuhin teriakan orang-orang—sesekali terdengar tangisan entah karena menahan sakit, atau mungkin ketakutan. Chan kebingungan, dia tidak tahu harus pergi kemana—dia tidak tahu harus menyelamatkan ketujuh temannya dengan cara apa. Di saat seperti ini, mereka benar-benar terjebak.
"Gue nggak tau harus gimana..." Seungmin melirih, tak ada satu pun yang mau mendengar yang lainnya. Semuanya sibuk menyelamatkan diri masing-masing, tanpa memikirkan keadaan kerabatnya.
Mereka memikirkan jalan keluar lain dengan kemungkinan yang lebih tinggi. Tapi, tak ada. Hanya pintu darurat ini yang tersisa, dan satu-satunya harapan mereka. Kedelapan orang itu kini tak dapat pergi ke mana pun, berdoa semoga bisa secepatnya keluar dan berlindung.
Felix, dengan raut wajah yang tampak benar-benar ketakutan, menggenggam erat tangan Hyunjin dan Jeongin. "Berdelapan, harus tetep berdelapan." Tegasnya.
"Harus, harus terus berdelapan." Hyunjin berujar, dengan napas yang terengah-engah.
Hyunjin memejamkan matanya, mendengar suara-suara dari kekacauan yang terjadi. Harapan semua orang sama; mereka ingin ini semua ternyata hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu ketika matahari menampakkan diri.
Satu detik.
Dua detik.
Sampai tiba-tiba ia merasa lengannya ditarik secara paksa oleh seseorang. Belum sempat membuka mata, Hyunjin merasa sesuatu yang keras menghantam seluruh tubuhnya.
"Hyunjin!" Suara Minho menyeru terdengar samar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Maze of Memories [✓]
Fanfiction"Tomorrow, everything will be fine." Sebuah badai besar terjadi ketika satu boygrup tengah mengadakan konser di tengah-tengah kota. Semuanya terjadi begitu saja, menyapu seisi kota--memporakporandakannya. Membuat banyak bangunan roboh dan... banyak...