05. a truth

435 120 25
                                    

***

Sesuai janjinya pada diri sendiri, ketika tubuhnya sudah sepenuhnya pulih, Hyunjin akan kembali ke Seoul dan mencari semua orang yang pernah ada di hidupnya. Tentu saja, secara diam-diam. Karena tidak mungkin Nenek mengizinkan Hyunjin bepergian sendiri. Sedangkan Nenek juga terlalu renta untuk menaiki kereta api dengan jarak yang cukup jauh.

"Hyung, gue pamit." Bisik Hyunjin pada Minho yang lagi-lagi, tengah tertidur pulas memeluk bantal. Kata pamit yang Hyunjin yakin, Minho tidak akan mendengarnya.

Ia berjalan mengendap-endap melewati kamar Nenek, membuka kunci dan menutup pintu dengan hati-hati, agar tidak membangunkan siapapun. Ketika sampai di luar rumah, Hyunjin hampir terjatuh karena menginjak tali sepatu yang tak diikatnya dengan benar.

"Kemana?"

Tubuhnya gemetar. Ia berbalik, berdiri perlahan dan memberikan senyuman kikuk pada Minho yang mematung di ambang pintu, dengan wajah membengkak karena baru saja terbangun.

"Beli susu kedelai, kemarin sore kan disuruh Nenek." Alibinya, yang sejujurnya Hyunjin ragu tentang apakah Minho akan menyadari kebohongannya atau tidak, namun ternyata tidak sama sekali.

Minho hanya mengangguk. "Jangan pergi ke Seoul," pesannya—selalu sama, setiap Hyunjin pergi ke luar. Ia lalu menutup pintu dan sepertinya akan kembali ke kamar, melanjutkan tidur.

Hyunjin mengenakan sweater yang sebelumnya dibuatkan oleh Nenek. Entah kenapa Minho tidak mau memakai sweater yang dirajutkan oleh Nenek, khusus untuknya—dia sungkan, karena merasa bukan siapa-siapa di rumah ini, hanya menumpang.

Oleh karena itu, Hyunjin yang selalu memakainya.

Tentu saja, Hyunjin tidak mendengar apa kata Minho. Berbekal pengalaman sebelumnya, Hyunjin pergi ke stasiun menggunakan bis yang sebelumnya pernah ia tumpangi. Kemudian berhenti di seberang stasiun dan segera memesan tiket.

Dia tahu, jalur menuju Seoul sekarang sudah dibuka, berdasarkan acara yang di tontonnya di televisi kemarin sore.

Perjalanan terasa begitu lama, terasa seperti berhari-hari. Padahal belum satu jam Hyunjin berada di dalam gerbong kereta yang sepi, belum ramai pengunjung karena Seoul masih dalam tahap perbaikan, sepertinya.

Oh, dan satu kabar baik: gips di lengan kanan Hyunjin telah dilepas, ia pulih sepenuhnya.

Setelah hampir dua jam duduk di dalam kereta, ia akhirnya turun. Kembali menginjakkan kaki di Seoul. Udaranya terasa berbeda, orang-orang nampak berlalu-lalang sekitar stasiun. Anehnya, tak ada satupun yang mengenali Hyunjin.

Padahal, dulu, setiap Hyunjin pergi ke minimarket, pasti setidaknya ada tiga orang yang menyapa dan meminta tanda tangan. Sekarang ternyata sudah jauh berbeda, dia benar-benar dilupakan.

Hyunjin sebetulnya tahu betul kemana arah menuju gedung JYPE, atau apartemen tempat asramanya dulu. Tapi karena banyak bangunan yang berubah, jalanan diperbaiki, semuanya terasa asing dan berbeda. Membuat Hyunjin kebingungan karena dia tidak tahu harus pergi ke mana untuk memulai mencari.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menaiki salah satu bis. Memperhatikan seisi kota yang berubah banyak. Ketika duduk melamun memperhatikan sekitar lewat jendela, seseorang duduk di sebelahnya. Ternyata seorang gadis, dia mengenakan seragam sekolah dan memiliki aroma yang wangi. Membuat Hyunjin memejamkan matanya dalam sepersekian detik, menikmati wangi manis yang masuk ke dalam indra penciumannya.

"Maaf, kamu tahu arah ke gedung JYPE?" Beberapa menit berpikir, Hyunjin angkat bicara.

Sayangnya, perempuan itu menggeleng. "Aku nggak pernah pergi ke gedung JYPE. Tapi sekolahku, masih satu wilayah. Aku nggak tau spesifik gedungnya ada di sebelah mana. Mungkin kamu bisa turun bareng aku." Ujarnya, yang seketika membuat Hyunjin dapat bernapas lega.

Maze of Memories [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang