***
Setiap kali merasa kelelahan seusai latihan, atau setelah melakukan banyak konser dalam waktu berdekatan, Hyunjin selalu berharap dia bisa tidur nyenyak tiga hari penuh. Tanpa bangun, tanpa diganggu alarm dari ponsel Jeongin, tanpa tubuhnya harus dipukul-pukul menggunakan bantal oleh Jisung agar dia mau bangun dan memasak sesuatu.
Kemudian, dia ingin bangun dengan tubuh yang terasa sehat sepenuhnya. Tanpa rasa sakit pada persendian, tanpa ngilu karena cedera setelah latihan, atau rasa pening pada kepala. Dia ingin bangun dengan kehidupan yang baru, sesekali.
Tapi, ia tak mau meninggalkan semua hal yang dimilikinya saat itu. Karenanya, Hyunjin kadang berdoa, "Tuhan, semoga aku bangun dengan fisik yang lebih kuat dan lebih baik. Sisanya udah bagus dan aku bersyukur." Yang mungkin terdengar konyol bagi beberapa orang.
Permintaan Hyunjin tentang bangun di kehidupan yang baru terkabul. Sayangnya, di kehidupan yang baru, dia tidak bisa membawa serta keenam temannya—hanya satu, hanya satu yang sampai hari ini masih menemani Hyunjin.
Sisanya, hilang.
Ia tak lagi dikenal sebagai Hyunjin si Penari Keren, atau Hyunjin dari boygrup Stray Kids. Ia tak lagi dicintai dan disanjung puluhan ribu orang. Ia tak lagi berkarir, tak bisa lagi. Kehidupannya yang baru benar-benar berubah, sepenuhnya tenang.
Bukan, bukan tenang. Justru terasa seperti sepi.
"Udah makan sup buatan nenek?"
Hyunjin mengerjap, beberapa menit lamanya dia memandangi televisi yang mati, dengan remot kontrol yang sudah digenggamnya sedari tadi. Dia justru melamun, beberapa hal tengah berkeliaran dalam pikirannya—mereka berisik, mengganggu keseharian Hyunjin.
"Belum," balas Hyunjin singkat.
Bahkan sekarang, suaranya berubah. Tidak lagi sama seperti suara Hyunjin yang selalu orang-orang dengar dalam lagu-lagu Stray Kids yang banyak di putar di berbagai tempat.
"Oke, lo belum makan dari pagi dan sekarang udah jam tiga siang. Jadi mau nggak mau lo harus makan sup. Nggak ada penawaran." Minho beranjak, meninggalkan Hyunjin yang duduk di sofa, lagi-lagi melamun.
Ketika kembali dengan semangkuk sup, Hyunjin tak ada di tempatnya. Minho mengerutkan kening, mengintip ke luar rumah lewat jendela yang ada; Hyunjin juga tak sedang duduk di kursi teras. Itu artinya, dia pergi ke kamar.
Untungnya, Hyunjin tidak mengunci pintu kamarnya saat itu.
"Nggak mau makan lagi gue cekek beneran lo." Minho menyimpan semangkuk sup yang dibawanya ke atas nakas. Mendapati Hyunjin tengah berbaring menatap langit-langit kamar.
"Yang lain kemana, ya?" tanya Hyunjin. Menghentikan Minho yang sudah di ambang pintu, hendak menutup dan mengerjakan kegiatan lain daripada harus memohon-mohon agar Hyunjin mau makan hari ini.
Tatapannya kosong, ia tak menjawab apa-apa. Tidak ada yang tahu 'mereka' kemana. Tidak ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi setelah kecelakaan hari itu. Hyunjin dan Minho terbangun di dalam sebuah rumah yang cukup kuno. Mereka tinggal bersama Nenek Hyunjin di pesisir kota.
Tak ada yang tahu kemana orang-orang pergi, orang tua Minho, orang tua Hyunjin, dan yang lainnya. Tidak ada yang tahu kenapa Minho dan Hyunjin bisa tiba-tiba bangun, berhari-hari tinggal bersama Nenek Hyunjin yang mulai renta.
"Lo nggak mungkin lupa sama semua kejadian itu, kan?"
"Gue nggak mau nginget-nginget kejadian itu lagi, Hyun."
"Egois." Sergahnya. Hyunjin bangun, mendudukkan diri di tepian kasur seraya menatap Minho dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan; terlihat seperti dia benar-benar marah dan menyimpan dendam, tapi di sisi lain, matanya nampak seperti menahan tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maze of Memories [✓]
Fanfiction"Tomorrow, everything will be fine." Sebuah badai besar terjadi ketika satu boygrup tengah mengadakan konser di tengah-tengah kota. Semuanya terjadi begitu saja, menyapu seisi kota--memporakporandakannya. Membuat banyak bangunan roboh dan... banyak...