MDC 04

100 23 105
                                    

Aku bersiap ingin ke kampus, saat semua orang telah pergi beraktivitas. Menunggu Lidya datang menjemput, sebuah notifikasi muncul. Pesan dari Lidya kalau ia tak jadi ke kampus. Segera berganti baju menuju dapur membuat sesuatu yang bisa dijadikan makan siang nanti.

Terdengar suara pintu dibuka, dan langkah kaki yang tegesa-gesa. Ku tengok dari arah pintu dapur, ternyata Rafael. Mapnya ketinggalan di meja tv. Sambil mencuci peralatan yang kotor, berdiri di depan westafel merenung semua fase yang telah aku lewati selama menjadi mahasiswa. Tak sadar buliran bening mengalir di pipi.

"Heh. Kamu menangis?"

Aku sontak terkejut melihat Rafael yang tiba-tiba berdiri di samping westafel dengan senyum sinisnya.

"Kalau iya, bukan urusan Ka Rafael," jawabku agar terlihat tegar.

"Bilang! Kenapa kamu menangis?" tanyanya. Aku cuma diam sambil terus mencuci alat masak.

"Jawab! Tidak mau jawab, aku kurung kamu di kamar mandi," ancamnya.

Aku membalas tatapannya. "Coba saja, kalau berani!" Kali ini aku tidak bisa diam.

Anehnya, meskipun Rafael sering membuatku sakit hati, tapi tak pernah sekalipun aku mengeluarkan air mata dibuatnya. Entah mengapa kali ini, hanya karena mengingat perjalanan hidup aku sampai meneteskan air mata. Rafael nekat menarik tanganku menuju kamar mandi yang ada di dapur.

"Lepas! Lepaskan tanganku," pintaku.

"Tidak akan ku lepaskan sebelum kamu bilang, apa yang membuat kamu menangis?"

"Kenapa Ka Rafael mau tahu? Bukannya Ka Rafael sendiri sering bikin aku sakit hati?"

Bukannya menjawab, ia malah menarik tanganku menuju kamar mandi.

"Masih tidak mau bilang?"

"Lepas, iya aku mau bilang."

"Kenapa?" tanyanya penasaran.

"Aku tidak punya uang buat ujian skripsi, uangnya terpakai buat bayar motor dan pembayaran lainnya," jawabku.

Cuma kalimat itu yang mampu aku keluarkan. la melepaskan tanganku dengan kasar, lalu tertawa mengejek.

"Puas?" tanyaku.

Ka Rafael merogok kantong celananya mengeluarkan sepuluh lembar pecahan seratus ribu dari dompetnya.

"Ambil!"

"Tidak!"

"Ambil!"

Aku melewatinya, ingin menyelesaikan cucian di westafel. Rafael meletakkan lembaran uang tersebut di samping westafel lalu pergi.

"Buang di tong sampah jika kamu tidak butuh!"

Rafael berlalu pergi. Aku menarik nafas melihat lembaran uang itu, "Mungkin begini cara Allah memberikan aku pertolongan melalui orang yang sama sekali tidak aku harapkan."

***

"Tante mau ke mana?" tanyaku saat melihat koper besar di ruang tamu.

Next?

Jangan lupa vote, komen and follow yaaaa manteman:)

Mau happy end atau sad end nih?
Komen sebanyak-banyaknya!!!



My Dear CousinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang