Chapter 6 - Twenty-Four and A Hug
"When people in their twenties compare their dream and passion to reality, often they question their life direction. But sometimes, the disappointment restores their identity and purposes. "
"Berarti setelah ini, kita bakalan ada speech dari pejabat-pejabat ya, sebelum welcome party?" Tanya Kana memastikan sembari memperhatikan list daftar kegiatan yang sedang ia siapkan bersama Raihan.
Raihan, teman satu magangnya mengangguk, "Setelah welcoming hari ini, akan ada pengenalan pihak-pihak volunteer. Mungkin minggu depan baru efektif kegiatannya." Ucapnya menjelaskan.
"Jadi kerjaan kita sampai disini ya?"
"Gak juga sih, kita harus siapin makan siang sebelum pulang." Jawab Raihan lagi yang membuat Kana tersenyum tipis.
"Maksudnya tanggung jawab kita. Setelah kita serahin ke tim yang ngerjain dan volunteer, kita bakalan kerjain hal lain kan ya?"
"Kemungkinan besar sih gabut," Balas Raihan pendek yang membuat Kana mengangguk setuju.
"Tim volunteer bakalan paham dengan semua plan ini gak ya?"
Raihan selesai mencetak list yang baru saja mereka selesaikan, "Tentu aja. Mungkin mereka lebih ngerti dari kita."
Dan perkataan itu mengingatkan Kana akan sebuah hal.
Ia baru-baru ini menyadari bahwa tidak semua hal berjalan dengan kecepatan yang sama setiap waktu. Selama ia mengurus perusahaan keluarganya, ia tidak pernah mengambil waktu santai selain dengan keluarganya. Saat itu, ia berpikir bahwa itu adalah hal yang wajar. Namun hal itu juga yang membuatnya lelah.
Selama menjadi anak magang, ada masa dimana ia tidak memiliki tanggungjawab apapun selain duduk di kursi dan membantu tim tata usaha untuk print sesuatu. Simple, tapi bukan berarti tidak bermakna.
Perlahan, Kana menyadari bahwa mungkin ini yang ia ingin temukan. Dunia akan terus berjalan dengan atau tanpanya, dan semua ada masanya.
Trust other. Semua orang bertanggungjawab dengan pekerjaan mereka. You are not the only one.
Mungkin benar, empat bulan ini akan menjadi masa berharga untuknya.
"Kio, kamu gak kerja?" Adalah pertanyaan yang Kana sodorkan ke lelaki yang ada di depan kantornya untuk kedua kalinya. Lelaki tinggi dengan bahu yang cukup lebar membuat kemeja di tubuhnya terlihat apik. Truly an appearance of a healthy mind.
Tentu saja hal itu tidak terlalu penting, Kana hanya bertanya-tanya bagaimana lelaki itu bisa datang sesukanya. Setaunya, pekerja kantoran tidak biasanya pulang secepat ini.
"Aku lupa kasih tahu kamu ya kalau aku punya perusahaan sendiri. And although I work hard, I still have time to pick you up." Balas Kio mengedipkan sebelah matanya.
Kana menghembuskan napas, "Okay, emang mau ngomong apa?"
Kio tersenyum lebar dengan respon Kana, "Gimana kalau aku antar kamu pulang?"
Keheningan mengisi ruangan apartment Kana. Pikirannya berkelana, ia merasa asing dan bingung untuk memulai sebuah percakapan. Ia merasa sedikit berlebihan dengan sikap yang ia berikan waktu lalu, namun ia juga tak dapat memperlakukan Kio dengan kehangatan yang dulu ia berikan.
Sementara Kio yang sibuk memperhatikan setiap sudut ruangannya seperti sedang inspeksi.
"Kamu bisa masak?" Kio membuka pembicaraan setelah membuka kulkas nya yang penuh dengan bahan masakan.
"Of course."
Ia terkekeh, "Terakhir kali aku ingat, kamu cuma bisa masak telor mata sapi."
"Itu karena ada kamu yang masakin." Jawab Kana ketus.
Di masa lalu, Kio adalah orang yang sangat penting di hidupnya. Seseorang yang ia anggap Tuhan berikan untuk menerangi hidupnya. They save themselves by becoming each others' support system. Dan tentu saja, waktu yang berlalu cukup lama untuk membuatnya melupakan itu.
"You've grown up." Kata Kio lagi dengan tersenyum yang direspon dengan Kana yang beranjak dari sofanya.
"I'll cook."
"Mami bilang kamu sudah berubah banyak, tapi kenapa aku masih lihat kamu kayak dulu ya?"
"Itu karena kamu masih stuck di masa lalu, Kio." Ucap Kana tanpa mengalihkan pandangannya. Ia sibuk dengan memotong daging sapi yang akan ia gunakan.
"Kamu masih suka nulis?" Akio mengubah topik pertanyaannya.
"Not anymore."
"Dance?"
"People change, Kio. Aku bukan adik kecil yang ada di pikiran kamu lagi." Jawab Kana kali ini dengan nada serius. Kana setelah Kio pergi harus mengubah semua yang ada di hidupnya untuk grow up. The price was too high for her to afford.
"Kenapa? Bukannya kamu suka dengan dua hal itu?" Kio teringat Kana yang ceria dan punya prinsip doing things to its fullest, selalu mencoba hal baru dan memiliki jutaan ide yang ada di pikirannya untuk hal-hal yang menyenangkan.
Kana menghela napas, perasaannya terombang-ambing dengan pertanyaan Kio yang membuatnya terpicu, ia ingin marah. Atau bisa dikatakan, ia sangat marah.
"It's a price to grow up." Jawab Kana yang membuat Kio terdiam.
Kana menyelesaikan tumisannya dan menghindangkannya di ruang tamunya.
"Ayo makan," Ajak Kana.
"It's good!" Puji Kio mencoba suapan pertamanya.
"Gak kalah dari masakan kamu kan?" Ucap Kana lagi.
"No doubt."
Makan malam mereka selesai dengan tenang. Setidaknya bagi Kana.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Kio kembali membuatnya terdiam.
"An, I am so sorry I wasn't there for you. Maaf karena aku mengingkari janjiku." Ucapnya tepat di hadapan Kana yang duduk disampingnya. Wajahnya terlihat penuh dengan rasa bersalah yang membuat Kana merasa bersalah.
Ia tahu tidak ada yang salah diantara keduanya. Alasan Kio pergi ketika ia berada di bangku 1 SMA adalah karena ibunya yang meninggalkannya bertahun-tahun kembali menjemputnya. Lebih tepatnya memaksa Kio untuk meninggalkan Indonesia yang sudah diterima di Universitas Indonesia saat itu dan hidup dengan Ibu dan Ayah tirinya di Amerika.
"Udahlah, kak. I know it's not your fault." Jawab Kana kali ini dengan tulus. Panggilan yang ia berikan pada Kio setiap kali ia membujuk Kio yang sudah ia anggap sebagai kakaknya itu.
Kio memegang tangan kanan Kana dan membuat Kana merasakan tangan hangat Kio yang sudah lama ia lupakan.
"Can I have a hug?"
Bertahun-tahun dan Kana diingatkan kembali betapa pentingnya Kio dulu di hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Twenty [discontinue]
RomanceKana decided to return to Jakarta and start a new role as an intern. She decided to step down from her role as CEO of her own small business and Director of a family-owned business. There are two reasons why she makes this decision at twenty-four...