Chapter 8 - Twenty and Present Time
[Present Time]
Kana menghela napas mengingat kenangan yang sudah terlewati bersama Kio. Bertahun-tahun dirinya dan Kio menjadi saudara, dan kini mereka tidak memiliki hubungan apapun. Even precious relationship can turn fragile in front of time. Ia telah melewati banyak hal semenjak kepergian Kio.
Menghadapi maminya dan seluruh ekspektasi dalam mengurus perusahaan keluarga, mengorbankan masa kuliahnya untuk mengurus pekerjaan, menjadi dewasa dalam satu malam bukan hal yang mudah.
When misfortunes come, and you are in a significant and precious relationship, you tend to disappear quietly to not become a burden, even during the moment you need them the most.
Itu juga yang membuat hubungan mereka merenggang. Kana ingat tahun pertama Kio pergi ke Amerika, mereka mencoba untuk menelpon satu dan lainnya melalui Skype setiap minggu, frekuensi itu menurun dan akhirnya kehilangan momen untuk saling bercerita. Kana belajar bahwa sebuah hubungan butuh dipupuk untuk tumbuh dan bertahan, namun ia kehilangan semua itu.
Untung saja ia memiliki sahabat cowoknya yang sekarang akhirnya akan menikah itu.
Ia mencoba untuk baik-baik saja ketika kehilangan orang-orang penting di hidupnya.
Ketika bangun pagi ini, ia mendapati dirinya demam. Hal yang terbiasa terjadi ketika melewati hal-hal yang menguras perasaannya. Ia mematikan televisinya dan memutuskan untuk kembali tidur. Kepalanya sakit, tubuhnya panas dan ia tidak ingin melakukan apapun.
"An, are you okay?"
Kana terbangun dan mendapati laki-laki dengan tubuh besar memenuhi penglihatannya.
Kio terlihat sangat khawatir, membuat Kana tersenyum mengingat momen yang sama setiap kali ia sakit dari kecil. Ibunya yang super sibuk selalu tidak tahu ketika ia sakit, dan disaat beliau tahu, ibunya memilih membeli cokelat kesukaan Kana, berharap bisa menyembuhkan Kana kecil yang sedang demam atau flu. Tentu saja, hal itu tidak membantunya sama sekali.
Ia mengalihkan pandangnya dan melihat bubur kacang hijau dan air jahe yang ia ingat rasanya berada di atas meja. As if it is a dream.
"An, minum dulu air jahenya." Ucap Kio memberikan gelas yang masih hangat ke tangannya. Ah, air jahe dengan resep yang mereka dapatkan di salah satu hadiah majalah wanita yang Mami punya dan akhirnya menjadi resep andalan mereka bertahun-tahun.
"Kamu kok bisa disini?"
"You show me the password the last time, dan kamu gak buka pintunya saat aku hubungi berkali-kali."
Gadis ini menghabiskan air jahenya dan bangkit dari tempat tidur.
"It's the last time."
"Oh, ayolah. We grew up together."
"Lalu?" Jawab Kana dingin yang membuat Kio terlihat sangat kecewa.
"I am sorry, harusnya gak masuk ke apartment kamu tanpa ijin. But we are..."
Ucapan Kio terputus melihat raut wajah Kana yang tidak senang.
"Okay, selesaikan kacang hijau ini dulu."
Kana mengambil mangkuk yang ada disampingnya dan segera menghabiskan makanan kesukaannya dengan lahap. Satu-satunya makanan yang bisa Kana cerna ketika ia sakit adalah kacang hijau. Ia benci bubur putih dan suka kacang hijau yang manis.
Ia benci untuk mengakui bahwa hatinya hangat mendapati Kio di pagi hari berada di ruangannya, melakukan hal-hal kecil yang mengingatkannya ke masa kecilnya. Ia benci mengakui bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, ia tidak pernah benar-benar bisa melupakan kehangatan yang ia dapatkan dari Kio. Mengakui malam-malam ketika ia sakit dan berguling di lantai, dan rasa kesepian, insecurity, ketakutan, dan dingin yang ia rasakan.
Sudah lama sejak ia menyentuh kehangatan seperti ini.
"An,"
"Ya," Kana menunggu lanjutan dari kalimat Kio yang tertahan.
"Can we go back to the past? Please."
Kana yang sudah merasa lebih baik tersenyum mendengar ucapan Kio.
"I don't what kind of past you are talking about."
Kio terdiam.
"Can you please tell me what happen with you?" Tanya Kana serius, pertanyaan yang sudah ia tahan sejak hari pertama ia datang. Kenapa panggilan mereka berkurang hingga akhirnya Kana tidak bisa lagi menghubungi Kio.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Twenty [discontinue]
RomanceKana decided to return to Jakarta and start a new role as an intern. She decided to step down from her role as CEO of her own small business and Director of a family-owned business. There are two reasons why she makes this decision at twenty-four...