Chapter 7 - Twenty-Four and the Past That Has Forgotten

8 0 0
                                    


Twenty-Four and The Past That Has Forgotten

Batam, 2005.

Kana dengan sabar berdiri di depan rumahnya menunggu kedatangan 'abang' barunya. Sejak kepindahannya tinggal di rumah ini dengan mami yang baru menikah dengan ayah Randi, papa tirinya, baru kali ini ia mendapatkan berita yang menyenangkan.

Maminya bilang seseorang yang akan menjadi abangnya tinggal di rumahnya. Namanya Akio yang berasal dari Jepang. Kata maminya, Kio akan tinggal di rumahnya karena ibunya akan pindah ke luar negeri. Hal itu membuatnya berpikir, jika ibu Kio tidak menginginkan Kio, ia sangat menginginkannya.

Ia tak sabar memiliki teman dan saudara di rumah yang membosankan ini. Ia merasa asing dengan Papa Randi, dan ia tidak menyukai maminya yang selalu pulang malam bekerja. Ia juga bosan dengan omelan-omelan yang ia tidak mengerti.

Setelah lama menunggu, ia melihat mobil maminya sampai juga.

Ia menatap kearah jendela dengan tidak sabar.

"An, kamu ngapain disitu?" Tanya maminya melihat dirinya dengan keringat.

"Mi, kak Kio mana?" Ia bertanya dengan sumrigah.

Tak lama, seorang anak lelaki kecil turun dari mobil. Hal pertama yang muncul di pikiran Kana adalah wajah Kio yang tegang.

Ia tersenyum lebar, "Kak Kio, welcome." Ucapnya bersemangat.

"Namaku Kana, panggil aja An-an," Katanya lagi menarik tangan Kio mendekat.

"Ah, namaku Kio." Jawabnya kecil.

"Kak Kio bisa bahasa Indonesia ya? Bagus deh."

"Ya, mama mengajarkan bahasa Indonesia." Ucapnya kaku.

Kana tersenyum dan memeluk Kio dengan erat, "Kio, I want you. Pokoknya aku mau Kio disini."

Dan itu adalah cerita yang mengawali persaudaraan dan pertemanan Kio dengan Kana.

Siang ini, Kana dan Kio memutuskan untuk melewati jalan tikus dari sekolah menuju kerumah. Sebenarnya Kio sendiri tidak mau, namun Kana dan ide usilnya memaksa anak cowok itu untuk ikut berpanas-panasan bersamanya.

"Disini jalannya panas sekali." Ucap Kio yang sibuk memegang payung untuk melindungi Kana dan dirinya. Kulit Asia Timurnya sudah kemerahan karena sinar matahari.

"Udah deh, jangan ngomel. Kamu jadi kemerahan, coba aku, hitam nih." Ujarnya menunjukkan kulitnya yang mulai gelap karena sinar matahari.

"Lagain kenapa sih harus lewat jalan tandus gini?"

"Karena seru, petualangan tahu. Katanya setelah lewatin ini, ada orang yang jualan pohon tebu. Cuma 3000 satu batang tebu. Bayangin deh enaknya." Kana memberikan penjelasan. Kemarin, teman sekelasnya cerita baru saja membeli tebu satu batang ketika melewati jalan ini. Sayangnya, mereka tidak pulang bersamaan.

"Sepatu kita jadi penuh lumpur." Kio menatap sepatu sekolah mereka yang terkena lumpur. Sejujurnya ia sangat khawatir karena tanah liat yang ia lewati cukup basah, berkali-kali mereka terperangkap di jalanannya.

"Gapapa, gapapa. Nanti minta Mbak cuci aja." Kata Kana lagi. Ia tidak terlalu merisaukan, lagipula besok hari Sabtu. Waktu yang tepat untuk mencuci sepatu.

Kio diam tak berkomentar. Kana yang iseng meloncat-loncat diatas tanah yang mereka lewati.

Tidak butuh waktu lama, sepatunya terperangkap di dalam tanah liat. Dan kali ini, ia tidak bisa mengangkatnya.

"Kio, gimana ini?" Ucapnya mulai khawatir melihat kakinya yang sudah masuk sebatas tumit.

Kio mencoba untuk mengangkat tubuh Kana, namun tak ada hasil. Untung saja ia selalu melewati jalanan yang basah, sehingga tubuhnya tidak masuk seperti Kana. Dalam beberapa menit, tubuh Kana sudah masuk ke lutut. Perasaan khawatir mulai menyelimuti Kio.

About Twenty [discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang