Mengamuk. Seolah itu yang langit lakukan demi lampiaskan segala kegundahan pada bumi Velia malam ini. Obor api yang biasanya menyala-nyala menerangi sepanjang jalan kota Velia pun akhirnya padam terhembus angin bercampur air hujan yang datang dari laut Balenos. Semua orang berlindung di rumah masing-masing—menutup jendela, dan mematikan lampu-lampu yang tidak perlu—untuk melewati badai dengan tidur lelap yang nyaman hingga fajar tiba.
Aroma garam yang menguar sangatlah kuat, begitu kentara. Belum lagi sisa-sisa aroma khas ikan laut mulai memudar seiring badai berhembus kencang. Kebanyakan masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, ada juga yang menjadi pengepul ikan-ikan, ada pula yang membuka toko mutiara, dan ada pula pekerjaan-pekerjaan lain yang berguna bagi para petualang yang datang untuk menjalankan misi. Velia dikenal dengan suasana kotanya yang penuh akan panorama indah, tapi tidak untuk sekarang.
TRANG!
Nyaringnya suara pedang dapat terdengar jelas. Lantai kayu itu sedikit tergores sebab gesekan keras yang tercipta akibat kuatnya lemparan itu. Seandainya karpet di sebelahnya dapat berbicara, mungkin ia sudah menjerit histeris dan memaki Sang Tuan sebab jika pedang yang belum bertudung itu mengenainya, pasti si karpet akan terbelah jadi dua.
"Sial."
BRAK!
Kali ini jendela yang masih terbuka ditutup keras-keras, mungkin merasa kesal karena angin kencang dari laut masuk ke dalam kamarnya. Lihat itu, ada banyak sisa-sisa air yang meresap ke dalam serat kain seprainya dan juga serat kayu lantainya. Sembari mengusap wajahnya yang layu, si pemilik kamar dengan sangat tidak rela harus mengambil kain lap untuk mengeringkan genangan air yang tersisa.
"Tuan Muda!" panggil seseorang dengan suara ketukan yang menyusul. Si Tuan Muda lantas memasang wajah kakunya yang paling seram.
"Masuk."
Suara khas pintu terbuka terdengar di telinga Si Tuan, diikuti pemandangan seorang pelayan wanita yang berdiri sopan dan tegap.
"Ada apa?" tanya Si Tuan Muda begitu dingin.
"Makan malam sudah siap. Apakah Tuan Muda inginkan makan atau saya siapkan air hangat untuk membasuh diri?"
"Aku hanya ingin tidur," kata Tuan Muda tanpa menoleh sedikitpun pada yang mengajaknya bicara. Matanya tertuju pada pedang yang ada di dekat kakinya. Ia biarkan punggung tegapnya itu dipandangi oleh pelayan yang berdiri di pintu. Tuan Muda hanya inign waktu sendirian sekarang. "Kau bisa kembali. Aku sangat lelah sekali."
Tanpa banyak bicara, pelayan rumah itu segera pamit undur diri dan kembali menutup pintu dengan sangat rapat.
Dan di sinilah dirinya lagi. Sendirian berteman sepi. Nyala lampu petromak menguarkan kehangatan dengan pasti. Tuan Muda kini menatap kosong pada lantai kayu yang baru saja dikeringkannya, seolah ada sesuatu yang penting yang hilang dan lenyap dari sana. Kemudian mata kelamnya berkedip, sebelum menatap ukiran nama yang tercetak jelas di atas pedang yang tadi ia lempar. Tangan yang berbalut perban itu meraih gagang pedang silver mengilap. Lantas ia pandangi benda tajam itu dengan kalut.
"Aku menunggu tiga puluh tahun usiaku untuk masa ini," katanya dengan lirih. "Aku—" suara tersendat, hidungnya membaui sisa-sisa aroma manis permen karet di gagang pedang itu. Mata terpejam menikmati, bagai aroma laknat namun sungguh membasuh birahi. "Aku—" katanya dengan napas memberat, keringat mengucur, darah di seluruh tubuhnya berdesir kala ia nikmati aroma manis sekental madu di saraf reseptornya. Rasanya seperti ia baru mendapatkan aroma yang selama ini ia nanti-nanti, seperti ingin pingsan saja. Tuan Muda menggerung, menahan diri. Dada kirinya sakit sekali, perutnya seperti diaduk dan dikelilingi oleh kepakan sayap kupu-kupu. Sengatan-sengatan lain terasa menyiksa, hingga Tuan Muda kepayahan dan tak sengaja menjatuhkan pedang silver itu untuk kedua kalinya ke lantai kamarnya.
Oh, demi tanah Balenos yang makmur. Sungguh, Tuan Muda yang satu ini seperti tersengat aliran listrik ribuan volt. Tapi, anehnya ia tidak mati. Ia tidak sekarat. Ia masih bernapas, namun merasakan semua perasaan dan euphoria yang menjadi satu ini—sungguh ia tidak kuasa menahannya.
"Argh!" erangnya ketika bagian tubuhnya yang lain terasa menegang, mengeras dan itu sangat sakit sekali. Rasanya ingin memukul siapapun, ia kesal demi apapun! Sebagaimana dirinya yang terlahir dengan darah Berserker, seorang pria kuat perkasa dengan amukan pedangnya yang menakutkan. Putus asa, Tuan Muda tak dapat berbuat apa-apa selain mengerang dan menahan sakitnya di bawah sana.
Dengan tergesa ia menarik peti di bawah kasurnya, membuka kunci dan menjeblaklah peti itu menampilkan banyak sekali persediaan medis seperti obat dan suntikan khusus. Lantas di raihnya satu suntikan itu, tanpa rasa takut dan seolah terbiasa, sang Tuan Muda segera menusukkan benda itu ke lengannya.
Detik demi detik, menit ke menit, cairan itu bereaksi dengan sangat baik, dan kini Tuan Muda mulai tenang dan rasa kantuk menekan kesadarannya perlahan-lahan. Bergegas ia lepas baju zirah yang masih melekat di tubuhnya, meletakkannya di lantai kayu tanpa peduli betapa berantakannya nanti kamar miliknya. Yang ia tahu, ia sungguh lelah dan ingin tidur segera.
Denyutan nyeri berangsur mereda, Tuan Muda mulai tenang seiring napasnya yang melambat. Dengan sisa tenaga pasca melonjaknya nafsu birahi yang ditekan oleh obat, Tuan Muda merebahkan tubuhnya dengan nyaman. Matanya yang layu menatap jendela malam yang mulai terang, pertanda sudah pagi dengan sisa gerimis yang masih menetak halus pada kaca jendela itu.
Bahkan dalam keheningan, atau ketika detik jam terdengar nyaring, dalam ketenangan diri, sosok itu muncul lagi dalam bayang-bayang pikirnya. Senyumnya yang manis, kerlipan matanya yang bagai bintang-bintang, rambutnya yang halus, kulitnya yang lembut, dan juga belaiannya yang penuh ekstasi—sungguh Tuan Muda tak dapat melupakan sosok itu walau sudah ribuan tahun lamanya ia tak bertemu.
Hanya satu ingatan yang paling melekat kala itu. Kala dirinya akan pergi dan lenyap dimakan angin. Sebelum dirinya meninggalkan belahan jiwanya yang ia cintai. Sebelum ia memohon untuk terakhir kali: pada Omeganya yang cantik, manis, dan baik hati.
Satu air mata lolos dari mata sayunya, sungguh Tuan Muda merindukan kekasihnya yang telah lama ia tinggalkan. Entah sudah menjadi reinkarnasi yang seperti apa, yang Tuan Muda tahu, ia hanya ingin bertemu lagi—pada belahan jiwanya yang tak berapa lama dibawa pergi.
Sekali lagi, dalam kedip yang lemah, Tuan Muda memandangi pedang itu. Silaunya lampu menerangi nama yang terukir di sana. Hingga debar sengat itu kembali datang, namun tak separah yang tadi. Tuan Muda kembali menekan dadanya yang menjerit nyeri, Alphanya kemudian meraung lirih tak kuasa menahan diri.
"Tenang, Jack." bisik Tuan Muda pada Alphanya yang meraung pilu. Merindukan sang Luna sama setengah matinya seperti Tuan Muda sendiri. "Kita akan bertemu lagi dengannya," katanya dengan hembus yang resah. "Aku berjanji, aku akan menemukannya, dan tak akan melepaskannya lagi walau ia meronta."
Dan janji itu terucap seiring kesadarannya lenyap, mengantarnya pada tidur lelap. Nama pada pedang itu menyala terang ketika Tuan Muda telah menyerah. Tenggelam dalam alam bawah sadarnya, yang justru bertemu lagi dengan sosok yang ia idam-idamkan selama ini.
'Taehyung la Corsair', adalah ukiran yang terbentuk cantik dengan goresan emas di permukaan pedang silver itu.
Taehyung.
Taehyung.
Taehyung.
Lantas, bagaimana cara Tuan Muda agar bisa mendapatkan sang Omega sendirian? Tuan Muda sudah lama menginginkannya, menyentuhnya, menciumya, memeluknya. Setiap malam ia selalu mengira-ngira di manakah Omeganya berada. Ia butuh, ia rindu! Sungguh, hasrat merindu yang terpendam serta kegelisahan yang entah karena apa menggulung jadi satu dalam dada dan mengacaukan isi pikiran. Rasanya bagai malam-malam yang tak berujung, menanti fajar sama halnya ia akan bertemu gelap yang tak jelas kapan berhentinya. Terus seperti itu; lagi, lagi dan lagi. Bagai siklus yang tak akan pernah berhenti. Tuan Muda frustasi, ia sempat menyerah, akhirnya mendapat secercah harapan.
Rahasia ini sungguh menyiksa Tuan Muda hingga menusuk ke dalam tulangnya. Dan satu-satunya harapan Tuan Muda saat ini, yang ada dalam hatinya, yang terekam baik dalam memorinya, adalah satu.
Mendapatkan Taehyung secepat mungkin, dengan tangannya sendiri.
¤ ¤ ¤
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMOUFLAGE [KookV] PDF ✅
أدب الهواة"Aku akan menunggu, seperti yang kau inginkan. Namun dengan satu syarat." Dan Jungkook turut hembuskan doanya di setiap kata yang terucap. "Kumohon jangan kemana-mana." Jungkook harap, langit Velia mengamini doanya itu. [KOOKV - YAOI - ABO - NC] P...