Semakin dekat berlalunya musim gugur yang menyelimuti tanah Netherland, kehidupanku berangsur membaik. Entah bagaimana semesta akan bekerja membawa nasib kami di negeri orang. Delapan purnama telah terlewati, namun lukaku tak kunjung memuai kesembuhan. Seolah kebahagiaanku sirna bersama ketiadaan William. Tempat ini ramai, tapi aku merasa sendirian. Kekosongan yang bertahta dalam diriku bagaikan sebuah lingkaran tak berujung, sesat, sepi.
Memoriku berputar pada saat William mengenalkanku pada ice cream. Dia bilang Eropa dihujani salju pada bulan-bulan tertentu, dan kutanggapi dengan candaan. Impian itu menjadi kenyataan. Di suhu sedingin sekarang, kuyakin salju turun tidak lama lagi. Namun tak berarti tanpa kehadiran pria yang amat kucintai.
"Je tau salju di Eropa yang turun sebelum Natal? Beginilah wujudnya, bedanya tak manis dan berwarna."
Kembali kuingat kata-kata William saat ia kali pertama mengenalkanku pada ice cream di pasar raya.
Kulemparkan sebuah batu kecil ke permukaan danau yang telah mengkristal di beberapa bagian. Woll rajut hangat beserta syal yang melilit leherku tidak mampu membendung hembusan angin musim dingin. Celoteh riang keluarga dan pasangan-pasangan Eropa yang menghabiskan waktu di tepian danau mengisi sepi. Mentari memancarkan kegagahannya di langit biru yang beku, namun enggan mencairkan kehampaan yang masih berkelana di hati.
Kulihat orang-orang mulai membereskam alas tikar kotak-kotak piknik mereka, dikarenakan cuaca yang semakin menggigit. Kuniatkan hati untuk kembali kerumah, duduk di depan perapian bersama semangkuk sup kentang yang ibu buatkan. Baru selangkah aku bergerak, sebuah suara mengganggu telingaku. Derapan boots tentara yang tidak pernah kudengar lagi semenjak berpindah ke negeri Belanda yang damai, - tanpa tentara dan peperangan.
"Sara!"
Sayup-sayup kudengar sebuah suara berseru, namun dengan panggilan tak biasa. Kuyakin itu hanyalah sugesti dari dalam kepala karena terlalu merindukan sang pemilik suara. Namun langkah boots semakin terasa mendekat. Hingga dapat benar-benar kulihat kilap di ujung sepatunya yang berdiri di hadapanku.
"Hai, lieve meid... "
[ hai gadis manis ]
Waktu seakan tak bergerak, dunia seakan terhenti saat kulihat kembali diriku di dalam pantulan tombak mata sewarna emas. Kujumpai lagi sosoknya yang nampak lebih dewasa, berbalutkan pakaian khas tentara Hindia Belanda. Terkenang olehku saat pertama kali bertemu dengannya. Tatapan yang sama. Lidahku bungkam menenggelamkan kata yang terlalu naif diucap lidah.
"William," sapaku lirih.
Pria itu merengkuhku ke dalam dekapan dadanya. Memusnahkan kerinduan yang berjamur kurang lebih dua tahun lamanya. Hawa dingin seakan berubah menjadi musim semi di mana bunga-bunga kebahagiaan bermekaran di hatiku. Kuhirup dalam-dalam aroma khas milik William yang tak pernah berubah. William mengeratkan pelukannya di pinggangku. Ia menenggelamkan wajahnya di rambut gelapku yang semakin memanjang. Pelukannya hangat, sehangat mentari yang kini meredupkan keteduhan.
"Ik mis yey, Sara."
[ aku rindu padamu ]
Bisik napasnya dapat kurasakan menerpa hangat di telinga. Sulit kupercaya William ada di hadapanku sekarang. Kupikir mungkin ia telah gugur di tempat yang bermil-mil jauhnya dari tempat ia dilahirkan.
Tuhan, terima kasih.
William mengurai pelukan. Matanya menjatuhkan bulir-bulir tangis bahagia. Helaan napasnya yang berderu mengepulkan kabut-kabut tipis menggambarkan betapa kencang ia berlari meninggalkan pelabuhan yang membawanya dari Hindia Belanda.
Will membelai kedua pipiku, menyingkirkan anak rambut yang terbang bebas mengenai wajahku. "Maaf, aku baru kembali."
Kukecup jemarinya yang menangkup kedua pipiku. "Terimakasih telah kembali,"
William menunduk, menyetarakan wajahnya. Ia mengecup bibirku dalam. Layaknya menyapu kegundahan batin yang kurasakan seorang diri sepeninggal William. Menghapuskan kekosongan dan menggantinya dengan kebahagiaan layaknya musim gugur yang berlalu. Will merogoh sesuatu dalam pakaian tentaranya. Ia bertekuk lutut.
"Lieve meid, wil je mijn ontbrekende rib aanvullen, ben jij de eerste persoon die ik zie als ik mijn ogen open en de laatste persoon die ik zie voordat ik mijn ogen sluit? Sararaswati Gitamanggala, wil je met me trouwen?"
[ Maukah kamu mengisi tulang rusukku yang hilang, maukah kamu menjadi orang pertama yang aku lihat saat aku membuka mata dan orang terakhir yang aku lihat sebelum aku terlelap? Sararaswati Gitamanggala, maukah kamu menikah denganku? ]
Sebuah cincin dalam kotak beludru mengkilat-kilat permatanya. William melamarku. Aku menangis bahagia. Kuanggukkan kepala tanda setuju disusul William menyematkan cicin permata di jari manisku.
Buliran putih jatuh.
Salju pertama yang turun di Belanda. Buliran es lembut serupa kapas itu semakin banyak berguguran bagaikan hujan yang sengaja di tumpahkan dari langit. Aku mendongak, mengagumi keindahan salju yang tidak pernah kutemui di benua beriklim tropis. Bersama William yang mendekap erat diriku selayaknya salju yang mendekap kota Maastricht, Belanda.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
Hello readers! hehe.. tadinya aku berencana mengupdate Epilog ini besok, tapi tangan gatel mau publis >.< Finally, story ini kelar walau ga sepanjang dan sekece cerita hitorical kebanyakan.. jujur agak insecure sih sama tulisan author-author berpengalaman diluar sana.
Kuucapkan banyak-banyak terimakasih kepada pembaca yang telah mengikuti kisah singkat Will dan Gita. Aku senang jika tulisanku disukai dan diapresiasi pembacaku. Mungkin kalau ada yang mau baca, aku pertimbangkan bikin sekuel kisah kehidupan mereka setelah pernikahan , but mungkin ga dalam waktu dekat karena tugasku masih buaanyaakk T_T
[ Tulis kesanmu setelah membaca cerita ini ya! ]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐤𝐮 𝐒𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐍𝐲𝐚𝐢 [TERBIT]
Historical FictionKebencianku terhadap bangsa Belanda telah mengakar sejak jiwa ini lahir di atas tanah jajahan, sebagai kaum golongan terbawah berstatus budak di negeri sendiri. Kemiskinan adalah hal lumrah. Kelaparan merajalela saban hari. Tubuh-tubuh kurus lelaki...