╭── ☝🏻 ──╮
❝ De Oost Film ❞
╰── ──╯❥•°❀°•༢
Pertemuan singkat itu tak lekang oleh waktu. Tidak mampu kuingat wajahnya karena mereka semua kelihatan sama. Tetapi dari cara bicara dan pedas ucapannya, akan kuingat seumur hidup. Aku terjaga lebih cepat dari matahari di ujung timur, lebih siaga dari ayam jantan yang masih lelap diperaduan sebelum berkokok sebagai pertanda datangnya pagi. Menembus dinginnya dini hari, aku berangkat ke pasar bersama Nirba. Melewati hektaran pematang sawah gelap tanpa mentari. Kami tidak punya sepeda ataupun alas kaki untuk menemani perjalanan panjang nan melelahkan, namun celoteh-celoteh riang antara aku dan Nirba tak terasa membawa langkah kami menapaki pasar pagi. Bakul-bakul ketan dan iwak mulai sibuk melayani pembeli. Toko beras milik Cici Tionghoa juga dipadati babu dan jongos beserta segelintir nyonya Londonya yang ingin memilih beras secara langsung di pasar.
Aku mendatangi seorang penjual umbi-umbian panggul. Menawar harga rendah dari yang terendah mengingat uang yang kami miliki bernilai pas-pasan. Setelah membayar sejumlah uang dari hasil kesepakatan, seikat singkong kering berpindah dari bakul ke bahu kurus Nirba. Tidak banyak bahan yang kubutuhkan untuk memasak hari ini, cukup seikat singkong dan garam. Kami sampai dirumah agak terlambat dari biasanya. Bertepatan dengan Abah yang hendak pergi ke ladang. Nirba bersikeras ikut walau kutahu dia cukup lelah.
Kuambil separuh dari satu ikat singkong, aku menyisakan beberapa buah untuk dimasak esok pagi lalu mulai mengupas kulitnya. Tidak lupa kupotong kecil sebesar dua jari tangan dan mencuci bersih. Selesai dipotong, kujemur potongan-potongan singkong di halaman rumah diatas bale beralaskan tikar. Beberapa saat setelah warna singkong berubah menghitam, barulah kuangkat. Di tahap ini, singkong kering kami menyebutnya gaplek. Aku mulai menumbuk dan mengayaknya sebagai langkah memasak nasi tiwul. Setelah siap, kutaburi sejumput garam supaya terasa sedap. Tidak lupa kusisihkan untuk diantar ke Abah dan Nirba nanti siang. Dan menyajikan kepada Ibu yang belakangan ini kondisinya memburuk lagi.
"Bu, mari dahar dulu."
[ makan ]
Ku suapi Ibu nasi tiwul buatanku penuh kasih sayang. Kami tidak mampu membeli beras, tapi setidaknya tiwul ini dapat mengganjal perut untuk satu hingga dua hari kedepan. Ibu makan dengan lahap nasi tiwul dari tanganku. Hatiku terlilit sembilu melihat keadaan Ibu. Kami begitu miskin di tanah sendiri. Andai aku berpendidikan, memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang dan membawa Ibu berobat, membeli rumah dan tanah teruntuk Abah supaya tidak perlu kesulitan membayar otoritas pemerintah Belanda. Angan-angan itu lenyap dalam sekejap tatakala kuingat kami hanyalah bangsa jajahan yang tidak berhak mengambil keputusan. Bangsa pendatang hidup mewah diluar sana. Berpesta dan menghamburkan kekayaan diatas penderitaan kaum pribumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐤𝐮 𝐒𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐍𝐲𝐚𝐢 [TERBIT]
Ficción históricaKebencianku terhadap bangsa Belanda telah mengakar sejak jiwa ini lahir di atas tanah jajahan, sebagai kaum golongan terbawah berstatus budak di negeri sendiri. Kemiskinan adalah hal lumrah. Kelaparan merajalela saban hari. Tubuh-tubuh kurus lelaki...